Keluaran 32

"Dan ketika bangsa itu melihat bahwa Musa lambat turun dari gunung, maka berkumpullah bangsa itu kepada Harun serta berkata: "Mari, buatlah bagi kami dewa yang akan mendahului kami, sebab orang ini, Musa, yang membawa kami keluar dari tanah Mesir, tidak tahu apa yang telah terjadi padanya."

Keluaran 24: "Jalan Menuju Kemuliaan dan Perjanjian"

Dalam perjalanan spiritual dan pencarian makna, seringkali kita dihadapkan pada momen-momen krusial yang menentukan arah hidup kita. Salah satu kisah yang sarat akan pelajaran berharga tersaji dalam Kitab Keluaran, khususnya pada pasal 24 yang menggambarkan momen sakral di Gunung Sinai. Peristiwa ini bukan sekadar catatan sejarah, melainkan sebuah fondasi perjanjian yang mengikat Tuhan dengan umat-Nya, sebuah titik tolak penting dalam pembebasan dan pembentukan identitas sebuah bangsa.

Pasal 24 dari Kitab Keluaran menceritakan bagaimana Musa mendaki Gunung Sinai untuk menerima hukum dan ketetapan dari Tuhan. Ini adalah sebuah momen yang dinanti-nantikan setelah perjalanan panjang keluar dari perbudakan di Mesir. Tuhan memanggil Musa naik, bersama Harun, Nadab, Abihu, dan tujuh puluh tua-tua Israel. Namun, hanya Musa yang diperintahkan untuk mendekat kepada Tuhan. Di puncak gunung itulah, sebuah perjanjian kekal terjalin. Tuhan memberikan perintah-Nya, dan umat Israel bersumpah untuk taat.

Momen ini dipenuhi dengan kemuliaan ilahi. Awan menutupi gunung, dan terang yang luar biasa memancar, menunjukkan kehadiran Tuhan yang agung. Para pemimpin Israel dapat melihat "keagungan Allah Israel" dan di bawah kaki-Nya terhampar sesuatu seperti lantai dari batu safir, sejernih langit. Ini adalah gambaran tentang betapa suci dan mulianya hadirat Tuhan yang mereka saksikan. Perjanjian yang dibuat di sana bukan hanya tentang hukum, tetapi tentang hubungan yang mendalam antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya.

Gunung Sinai Kemuliaan Tuhan

Simbol visualisasi pertemuan di Gunung Sinai, menampilkan puncak, elemen ilahi, dan jalan perjanjian.

Namun, gambaran tentang kemuliaan dan kesetiaan ini menjadi kontras yang tajam dengan apa yang terjadi dalam Keluaran 32. Ketika bangsa itu melihat bahwa Musa lambat turun dari gunung, timbul keraguan dan ketakutan. Alih-alih memegang teguh perjanjian yang baru saja dibuat, mereka tergoda untuk kembali ke cara-cara lama, mencari "dewa" lain yang bisa mereka lihat dan pahami, dewa yang 'memimpin' mereka. Panggilan untuk patuh pada Tuhan mulai pudar, digantikan oleh kebutuhan akan kepastian yang instan dan kasat mata.

Kisah ini mengingatkan kita bahwa iman bukan hanya tentang menerima wahyu ilahi dan membuat janji, tetapi juga tentang menjaga kesetiaan kita di tengah godaan dan ketidakpastian. Keluaran 32 24 menjadi pengingat akan betapa mudahnya manusia jatuh ke dalam penyembahan berhala, baik dalam bentuk fisik maupun metaforis, ketika iman mereka diuji. Perbedaan antara gambaran kemuliaan di Keluaran 24 dan kejatuhan di Keluaran 32 mengajarkan kita pentingnya menjaga hubungan kita dengan Tuhan melalui ketaatan dan kepercayaan yang teguh, bahkan ketika jalan di depan terasa gelap.

Memahami kedua pasal ini secara beriringan memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang perjuangan umat manusia dalam menggapai kesempurnaan rohani. Ini adalah cerita tentang harapan, perjanjian, sekaligus peringatan. Kita diajak untuk merenungkan sejauh mana kita telah menempatkan kepercayaan kita pada hal-hal yang benar dan apakah kita senantiasa mengingat perjanjian yang telah kita buat dengan Sang Pencipta, sebuah perjalanan yang tidak pernah berhenti mencari terang dan kebenaran.