"Hendaklah engkau membuat tabernakel itu dengan sepuluh tenda linen halus yang dipilin, dari bahan biru, ungu, dan kirmizi, dengan kerub-kerub yang terjalin padanya, buatan seorang ahli bertahtakan." (Keluaran 26:1)
Simbol Kemah Suci dan Kepingan Kaca (refleksi)
Keluaran pasal 36 dan 37 memaparkan tahapan selanjutnya dalam pembangunan Kemah Suci, sebuah pusat ibadah yang sangat penting bagi bangsa Israel di padang gurun. Setelah menerima instruksi detail dari TUHAN melalui Musa, kini tibalah waktu untuk mewujudkan cetak biru ilahi tersebut melalui tangan-tangan manusia. Peran para pekerja terampil menjadi sangat sentral dalam narasi ini. TUHAN tidak hanya memberikan visi, tetapi juga menanamkan hikmat dan kemampuan kepada orang-orang tertentu untuk melaksanakannya. Ini menunjukkan bahwa dalam rencana-Nya, kolaborasi antara kehendak ilahi dan talenta manusia adalah kunci keberhasilan.
Pasal 36 dimulai dengan décrit Busabur, anak Hur dari suku Yehuda, dan Oholab, anak Ahisamak dari suku Dan, yang ditunjuk oleh TUHAN untuk memimpin seluruh pekerjaan. Keduanya dipenuhi dengan Roh TUHAN, memberikan mereka keahlian, pemahaman, dan kecerdasan dalam segala macam pekerjaan untuk mendirikan tempat kudus. Ini adalah sebuah pengingat yang kuat bahwa keahlian sejati, terutama yang diarahkan untuk tujuan ilahi, berasal dari sumber yang Maha Kuasa. Para tukang dan pengrajin kemudian mulai bekerja dengan penuh semangat, membawa persembahan sukarela mereka yang melimpah. Kuantitas dan kualitas bahan yang digunakan sangatlah luar biasa, mencerminkan antusiasme dan ketaatan hati mereka. Bahan-bahan seperti linen halus yang dipilin, benang biru, ungu, dan kirmizi, serta emas murni, digunakan dengan presisi untuk menciptakan tirai, kerangka, dan penutup kemah.
Setiap bagian Kemah Suci dirancang dengan detail yang sangat teliti. Tirai-tirai dibuat dengan kerub-kerub yang terjalin padanya, melambangkan kehadiran dan penjagaan ilahi. Penutup-penutup kemah, yang terbuat dari bulu kambing dan kulit domba yang diwarnai merah, serta kulit kedua dari luar, dirancang untuk memberikan perlindungan dan estetika yang harmonis. Papan-papan akasia yang disalut emas, pasak-pasak, dan batang-batangnya disusun sedemikian rupa untuk membentuk struktur yang kokoh namun dapat dipindahkan. Hal ini menekankan keseriusan dan kesucian dari tempat yang akan didiami oleh kehadiran TUHAN.
Memasuki pasal 37, fokus bergeser ke pembuatan perkakas-perkakas penting di dalam Kemah Suci. Busabur kembali tampil sebagai tokoh utama, dengan keahliannya yang luar biasa dalam mengolah emas, perak, dan perunggu. Tabut perjanjian, yang menjadi lambang utama hadirat Allah dan tempat pengampunan, dibuat dengan sangat hati-hati dari kayu penaga dan disalut dengan emas murni di dalamnya dan di luarnya. Tutup tabut, yaitu keping pendamaian, juga dibuat dari emas murni, dengan dua kerub emas di kedua ujungnya, saling berhadapan dan membentangkan sayap ke atas, menutupi keping pendamaian.
Meja roti sajian, kaki pelita emas, mezbah pembakaran ukupan dari kayu penaga yang disalut emas, serta mezbah korban bakaran dari tembaga, semuanya dibuat sesuai dengan rancangan yang telah diberikan. Setiap detail, dari ukuran hingga ornamen, sangat presisi. Pembuatan perkakas-perkakas ini tidak hanya merupakan sebuah proyek kerajinan, tetapi juga sebuah tindakan penyembahan. Ketaatan yang ditunjukkan oleh para pekerja, Busabur, Oholab, dan semua orang yang hatinya tergerak oleh TUHAN, adalah inti dari kisah ini. Mereka mengerjakan setiap bagian dengan dedikasi penuh, memahami bahwa setiap elemen memiliki makna rohani yang mendalam dan berkontribusi pada kesucian tempat ibadah.
Kisah Keluaran 36 dan 37 mengajarkan kepada kita tentang pentingnya dedikasi, keahlian yang diarahkan untuk kemuliaan Tuhan, dan sukacita dalam memberi serta bekerja untuk tujuan ilahi. Perintah untuk mendirikan Kemah Suci bukan sekadar pembangunan fisik, tetapi manifestasi dari kerinduan Tuhan untuk berdiam di tengah umat-Nya dan sebuah undangan bagi umat-Nya untuk mendekat kepada-Nya dengan hormat dan kekudusan.