Ayat Keluaran 38 ayat 22 ini, meskipun singkat, menyimpan makna yang mendalam mengenai pelaksanaan perintah ilahi dan detail pengerjaan Kemah Suci. Ayat ini tidak hanya menyebutkan nama seorang pemimpin, Hizkia, tetapi juga mengaitkannya dengan leluhurnya, Hur, serta garis keturunan suku Yehuda, yang kemudian menjadi suku kerajaan. Ini menunjukkan adanya tatanan dan legitimasi dalam kepemimpinan yang ditunjuk untuk tugas yang begitu sakral.
Pembangunan Kemah Suci adalah salah satu peristiwa sentral dalam sejarah bangsa Israel. Ini bukan sekadar sebuah bangunan fisik, melainkan representasi kehadiran Allah di tengah umat-Nya. Setiap detail, setiap material, dan setiap orang yang terlibat dalam pembangunannya memiliki peran penting. Ayat 22 ini membawa kita pada fokus kepada para pelaksana di lapangan, di bawah arahan yang lebih tinggi, yaitu Musa, yang sendiri menerima instruksi langsung dari Tuhan.
Kepemimpinan Hizkia, putera Hur, dari suku Yehuda, menekankan pentingnya keturunan dan penunjukan yang sah dalam pelaksanaan tugas-tugas rohani. Suku Yehuda kelak akan melahirkan raja-raja, termasuk Daud dan Salomo, serta Mesias sendiri. Penunjukan Hizkia sebagai pemimpin dalam pengerjaan ini menyiratkan bahwa kualitas kepemimpinan yang baik, yang sesuai dengan kehendak Tuhan, adalah kunci keberhasilan proyek yang mulia.
Tugas yang diemban Hizkia dan timnya adalah menerjemahkan visi ilahi yang diterima Musa menjadi realitas fisik yang dapat disentuh dan dilihat. Ini melibatkan perencanaan, koordinasi, dan pelaksanaan yang cermat. Bayangkan kerumitan dalam mengumpulkan bahan-bahan yang disebutkan dalam pasal-pasal sebelumnya—emas, perak, tembaga, benang halus, kain ungu, dan sebagainya—lalu mengolahnya menjadi komponen-komponen Kemah Suci, mulai dari tiang-tiang, alas-alas, tirai, hingga bejana-bejana.
Tindakan "memimpin pekerjaan itu" menyiratkan tanggung jawab besar. Hizkia bukan hanya mandor, tetapi seorang pemimpin yang menginspirasi, mengorganisir, dan memastikan setiap detail sesuai dengan standar ketelitian yang diperintahkan Tuhan. Ini adalah gambaran tentang bagaimana umat Tuhan dipanggil untuk bekerja dengan dedikasi dan kesetiaan dalam setiap aspek kehidupan, terutama dalam hal-hal yang berkenaan dengan ibadah dan pengabdian.
Keluaran 38 ayat 22 mengingatkan kita bahwa di balik kemegahan dan kekudusan Kemah Suci, terdapat upaya kolektif dan kepemimpinan yang tertanam dalam perintah ilahi. Ia adalah saksi bisu dari bagaimana kesetiaan pada instruksi Sang Pencipta, dikombinasikan dengan keahlian dan dedikasi para pekerja di lapangan, dapat menghasilkan sesuatu yang luar biasa dan bermakna sepanjang zaman. Kerja keras yang dipimpin oleh Hizkia ini menjadi fondasi bagi umat Israel untuk mengalami persekutuan yang lebih dalam dengan Allah.
Lebih dari sekadar laporan historis, ayat ini mengajarkan prinsip penting tentang pentingnya ketaatan pada firman Tuhan dalam segala upaya. Perintah TUHAN kepada Musa adalah peta jalan, dan Hizkia beserta timnya adalah para pelaksana yang setia meniti peta tersebut. Ini adalah teladan bagaimana kepemimpinan yang otentik harus selalu berakar pada otoritas ilahi. Dalam konteks kekinian, ayat ini dapat menjadi pengingat bagi kita semua untuk selalu bertanya: apakah pekerjaan yang kita lakukan, baik dalam pelayanan rohani maupun tugas sehari-hari, sungguh-sungguh dipimpin oleh firman dan kehendak Tuhan?
Pentingnya detail juga patut digarisbawahi. Kemah Suci bukan dibangun sembarangan. Setiap sisi, setiap sambungan, setiap ornamen memiliki makna dan fungsi. Kepemimpinan Hizkia memastikan bahwa detail-detail ini tidak terabaikan. Ini mengajarkan kita bahwa keseriusan dan ketelitian dalam melaksanakan tugas, sekecil apapun, adalah bentuk penghormatan kepada Sang Pemberi Perintah. Dengan demikian, Keluaran 38 ayat 22, meski hanya satu kalimat, membuka pintu pemahaman yang luas tentang kepemimpinan, ketaatan, dan seni membangun sesuatu yang berkenan di hadapan Tuhan.