Keluaran 8 19

“Kemudian para imam itu berkata kepada Firaun: “Ini adalah jari Allah.” Tetapi hati Firaun berkeras, dan ia tidak mendengarkan mereka, seperti yang telah difirmankan TUHAN.”

Kisah keluaran 8 19 membawa kita pada momen krusial dalam narasi keluaran bangsa Israel dari perbudakan Mesir. Ayat ini menggambarkan penolakan Firaun yang terus-menerus terhadap teguran para imam Mesir mengenai datangnya bencana yang disebabkan oleh Allah Israel. Peristiwa ini bukan sekadar pertarungan kekuasaan antara dua pemimpin, tetapi lebih dalam lagi, ini adalah manifestasi dari sifat keras kepala dan ketidakpercayaan yang dapat menghalangi seseorang untuk melihat kebenaran ilahi.

Ketika malapetaka kedua, yaitu pemejar, melanda Mesir, para imam Mesir sendiri akhirnya mengakui bahwa kejadian tersebut adalah campur tangan ilahi yang kuat. Mereka berkata kepada Firaun, "Ini adalah jari Allah." Pengakuan ini datang dari orang-orang yang seharusnya memiliki pemahaman tentang dewa-dewi Mesir dan ritual keagamaan. Fakta bahwa mereka mengakui kekuatan yang melampaui pemahaman mereka sendiri menunjukkan betapa dahsyatnya kekuasaan Allah Israel. Pemejar ini, yang kemungkinan besar adalah serangga atau nyamuk, bukan hanya mengganggu tetapi juga menunjukkan kontrol ilahi atas alam.

Namun, ironisnya, pengakuan para imam ini tidak meluluhkan hati Firaun. Sebaliknya, "hati Firaun berkeras, dan ia tidak mendengarkan mereka, seperti yang telah difirmankan TUHAN." Frasa "hati Firaun berkeras" muncul berulang kali dalam kitab Keluaran, dan di sini, dikaitkan langsung dengan kehendak ilahi, "seperti yang telah difirmankan TUHAN." Ini menyiratkan bahwa kekerasan hati Firaun bukanlah semata-mata pilihan pribadi, tetapi juga bagian dari rencana Allah yang lebih besar untuk menunjukkan kuasa-Nya melalui perlawanan yang terus-menerus. Melalui penolakan Firaun yang terus-menerus, Allah dapat mendemonstrasikan kehebatan-Nya kepada bangsa Israel, bangsa Mesir, dan bahkan kepada bangsa-bangsa lain.

Penolakan Firaun dalam Keluaran 8 19 memiliki konsekuensi yang mengerikan. Setiap kali Firaun berkeras hati, bencana berikutnya akan datang, dan setiap bencana semakin memperlihatkan ketidakmampuan dewa-dewa Mesir untuk melindungi rakyat mereka atau melawan Allah Israel. Puncak dari rangkaian penolakan ini adalah malapetaka terakhir yang menimpa anak sulung Mesir, yang akhirnya memaksa Firaun untuk melepaskan bangsa Israel.

Kisah ini memberikan pelajaran berharga tentang bahaya kekerasan hati dan ketidakpedulian terhadap kebenaran ilahi. Ketika seseorang menutup diri terhadap bukti-bukti yang jelas dan suara hati nurani, bahkan pengakuan dari orang lain yang menyaksikan keajaiban, maka mereka akan terjerumus dalam kegelapan yang lebih dalam. Ini juga menegaskan bahwa dalam kedaulatan-Nya, Allah dapat menggunakan perlawanan manusia untuk menggenapi tujuan-Nya yang mulia, yang pada akhirnya membawa kebebasan bagi umat-Nya dan kemuliaan bagi nama-Nya. Pemejar di Mesir hanyalah awal dari serangkaian peristiwa dramatis yang akan memuncak pada eksodus bangsa Israel.