Ayat dari Kitab Keluaran pasal 9 ayat 27, mencatat sebuah momen krusial dalam narasi Musa dan bangsa Israel di Mesir. Kalimat pengakuan dosa Firaun, "Sekali ini aku telah berdosa; TUHANlah yang benar, tetapi aku dan umatku orang fasik," menguak inti dari ketegangan ilahi dan manusiawi yang telah berlangsung lama. Pernyataan ini muncul setelah serangkaian tulah dahsyat yang menimpa Mesir, yang puncak puncaknya adalah hujan es yang menghancurkan dan api yang berkobar-kobar, hanya menyisakan wilayah Gosyen tempat bangsa Israel tinggal.
Sebelumnya, Firaun berulang kali menolak untuk membiarkan bangsa Israel pergi, hati Firaun dikeraskan, baik oleh dirinya sendiri maupun oleh campur tangan ilahi. Setiap kali bencana menimpa dan Firaun terdesak, ia akan memanggil Musa dan Harun, mengakui kesalahannya, dan berjanji untuk membebaskan bangsa Israel. Namun, begitu tulah mereda, Firaun kembali pada keteguhan hatinya yang keras, menolak untuk tunduk pada kehendak Tuhan.
Pengakuan Firaun kali ini terdengar berbeda. Ada pengakuan yang lebih dalam tentang kebenaran Tuhan dan kefasikannya sendiri serta bangsanya. Frasa "TUHANlah yang benar" menunjukkan pengakuan atas otoritas dan keadilan Allah, sementara "aku dan umatku orang fasik" adalah pengakuan atas ketidakbenaran dan pemberontakan mereka. Ini adalah momen yang penuh harapan, sebuah celah kecil bagi kemungkinan penebusan dan pembebasan.
Meskipun pengakuan ini merupakan langkah maju yang signifikan, sejarah selanjutnya menunjukkan bahwa pengakuan Firaun tidak bertahan lama. Hati yang keras, yang telah terbiasa menentang yang ilahi, sulit untuk sepenuhnya berubah. Seringkali, dalam kehidupan, kita menemukan diri kita dalam posisi yang mirip dengan Firaun. Kita mungkin menyadari kesalahan kita, mengakui bahwa kita telah bertindak salah, dan bahkan merasakan penyesalan. Namun, tantangannya adalah untuk menerjemahkan pengakuan ini menjadi tindakan nyata yang konsisten.
Kisah Firaun mengajarkan kita tentang pentingnya pertobatan sejati. Pertobatan bukan sekadar ucapan penyesalan, tetapi sebuah perubahan hati dan pikiran yang mendalam, yang diikuti dengan perubahan perilaku. Mengakui bahwa Tuhan benar dan kita salah adalah langkah awal yang krusial. Namun, kunci sesungguhnya terletak pada bagaimana kita merespons kebenaran itu. Apakah kita akan terus mengeras seperti Firaun, ataukah kita akan membiarkan kebenaran Tuhan membimbing langkah kita menuju kehidupan yang lebih baik?
Keluaran 9:27 menjadi pengingat bahwa setiap individu memiliki kapasitas untuk mengenali kebenaran dan mengakui kesalahan. Namun, jalan menuju penebusan dan kebebasan yang sesungguhnya hanya terbuka ketika pengakuan itu disertai dengan tindakan yang mencerminkan perubahan hati yang tulus. Ini adalah tantangan abadi bagi setiap orang yang berhadapan dengan kebenaran dan pertobatan, menawarkan perspektif baru pada apa artinya hidup dalam kebenaran ilahi dan melepaskan diri dari belenggu kefasikan.