Kidung Agung 4:6

"Sebelum angin senja berembus dan bayang-bayang menghilang, aku akan pergi ke gunung mur dan ke bukit kemenyan."

Ayat ini dari Kidung Agung 4:6 mengundang kita untuk merenungkan sebuah gambaran yang kaya akan makna dan simbolisme. Pengantin pria, yang dalam konteks ini sering diinterpretasikan sebagai Kristus, menyatakan kerinduannya untuk bersama kekasihnya, sang pengantin wanita, yang melambangkan gereja atau jiwa yang mencari Tuhan. Pernyataannya, "Sebelum angin senja berembus dan bayang-bayang menghilang," menggambarkan keteguhan hati dan keberanian dalam menghadapi ketidakpastian waktu.

Frasa "angin senja berembus dan bayang-bayang menghilang" bukan sekadar deskripsi waktu. Ia bisa melambangkan akhir dari sesuatu—mungkin akhir dari kesusahan, akhir dari penantian, atau bahkan akhir dari kehidupan duniawi menuju perjumpaan yang abadi. Ini adalah saat di mana kesadaran akan waktu yang terus berjalan menjadi lebih intens, mendorong untuk segera mengambil tindakan dan tidak menunda-nunda. Dalam konteks spiritual, ini bisa berarti kesiapan untuk menghadapi kedatangan Kristus atau panggilan ilahi.

Lokasi yang dipilih, "gunung mur dan bukit kemenyan," juga sarat makna. Mur adalah salah satu dari tiga rempah berharga yang dipersembahkan oleh orang Majus kepada bayi Yesus, sering dikaitkan dengan kesedihan, penguburan, dan juga penyembuhan serta pengudusan. Kemenyan adalah dupa yang sangat harum, digunakan dalam ibadah dan persembahan, melambangkan doa yang naik kepada Tuhan, kekudusan, dan keharuman rohani. Dengan memilih gunung mur dan bukit kemenyan, sang kekasih menyatakan bahwa ia akan mencari dan bertemu di tempat yang sakral, tempat yang penuh dengan pengorbanan, penyucian, dan aroma doa yang manis.

Kidung Agung 4:6 mengajak kita untuk melihat lebih dalam pada relasi kasih antara Tuhan dan umat-Nya. Ini adalah kasih yang aktif, yang tidak hanya menunggu, tetapi secara proaktif bergerak untuk bertemu. Kasih ini siap menghadapi perubahan waktu, siap memasuki tempat-tempat yang mungkin dilambangkan sebagai ujian atau tempat penyerahan diri total. Keberanian untuk pergi ke "gunung mur" menunjukkan kesediaan untuk menghadapi realitas, bahkan yang menyakitkan atau mengorbankan, demi mencapai tujuan kasih yang lebih tinggi.

Dalam kehidupan sehari-hari, ayat ini dapat menjadi pengingat untuk tidak menunda-nunda komitmen kita kepada Tuhan, untuk terus mencari kehadiran-Nya dalam segala aspek hidup kita, bahkan di tempat-tempat yang terasa sulit atau membutuhkan pengorbanan. Ia mengajarkan bahwa kasih yang sejati itu berani, tangguh, dan selalu mencari cara untuk semakin dekat dengan yang terkasih. Keharuman kemenyan di bukit-bukit itu mengingatkan kita bahwa doa dan hidup yang kudus adalah persembahan yang menyenangkan bagi Tuhan, yang selalu dicari dan dihargai.

Ayat ini memberikan janji perjumpaan yang penuh antisipasi. Sang kekasih bertekad untuk pergi, menyongsong kekasihnya, menunjukkan bahwa dalam relasi ilahi, ada respon timbal balik. Tuhan memanggil, dan jiwa yang mengasihi merespon dengan segenap hati dan keberanian, siap melintasi apa pun demi mencapai hadirat-Nya yang penuh kasih dan keharuman.