"Kamu tahu, bahwa adalah dilarang bagi seorang Yahudi bergaul dengan orang dari bangsa lain atau masuk ke rumah mereka. Tetapi Allah telah menunjukkan kepadaku, bahwa aku tidak boleh menyebut orang najis atau najis siapapun juga."
Ayat dari Kitab Kisah Para Rasul 10:28 memberikan sebuah pencerahan mendalam mengenai perubahan paradigma yang dibawa oleh Injil Kristus. Peristiwa ini melibatkan Rasul Petrus, seorang tokoh penting dalam komunitas Kristen perdana yang berlatar belakang Yahudi. Sebagai seorang Yahudi, Petrus hidup dalam tradisi dan hukum yang ketat, termasuk larangan untuk bergaul atau bahkan memasuki rumah orang bukan Yahudi (bangsa-bangsa lain). Konsep "najis" dan "suci" sangat membatasi interaksi sosial dan agama, menciptakan pemisahan yang jelas antara umat pilihan dengan bangsa lain.
Namun, melalui serangkaian penglihatan yang diberikan Allah, pandangan Petrus mulai diubah. Penglihatan tersebut bukan sekadar mimpi biasa, melainkan sebuah pesan ilahi yang mengkonfirmasi bahwa Allah tidak memandang bulu. Ketidaksetaraan yang selama ini dipegang teguh dalam budaya Yahudi mulai dipertanyakan dan dibongkar oleh kebenaran yang lebih universal dari kasih Allah. Penolakan terhadap makanan yang dianggap najis dalam penglihatan itu ternyata adalah simbol dari penolakan terhadap prasangka terhadap orang-orang non-Yahudi.
Ketika Kornelius, seorang perwira Romawi yang saleh namun bukan Yahudi, mengutus utusan untuk memanggil Petrus, ini adalah sebuah momen krusial. Meskipun awalnya ragu dan terbebani oleh larangan tradisi, Petrus akhirnya memutuskan untuk mengikuti panggilan tersebut. Kunjungannya ke rumah Kornelius menjadi titik balik sejarah. Di sana, Petrus dengan tegas menyatakan pemahamannya yang baru: "Kamu tahu, bahwa adalah dilarang bagi seorang Yahudi bergaul dengan orang dari bangsa lain atau masuk ke rumah mereka. Tetapi Allah telah menunjukkan kepadaku, bahwa aku tidak boleh menyebut orang najis atau najis siapapun juga."
Pernyataan ini sangat revolusioner. Ini menandakan bahwa berita keselamatan melalui Yesus Kristus bukanlah eksklusif bagi orang Yahudi semata, melainkan diperuntukkan bagi seluruh umat manusia, tanpa memandang suku, bangsa, atau status sosial. Allah membuka pintu anugerah-Nya selebar-lebarnya, mendobrak sekat-sekat pemisah yang selama ini diciptakan oleh manusia. Rasul Petrus menjadi perpanjangan tangan Allah untuk menyampaikan pesan universal ini kepada bangsa-bangsa lain, dimulai dari Kornelius dan rumah tangganya.
Kisah Rasul 10:28 mengajarkan kita tentang pentingnya keterbukaan hati dan pikiran. Kita seringkali terjebak dalam pandangan sempit, prasangka, dan label yang membatasi kita untuk melihat kebaikan dan kebenaran dalam diri orang lain. Pelajaran dari Petrus ini mengajak kita untuk senantiasa memeriksa hati kita, membuang segala bentuk diskriminasi, dan merangkul semua orang dengan kasih, sebagaimana Allah merangkul kita tanpa syarat. Pesan ini relevan hingga kini, mendorong kita untuk menjadi pribadi yang lebih inklusif, penuh kasih, dan mau membuka diri terhadap perbedaan.