"Tetapi setelah aku melihatnya, aku teringat kepada penglihatan yang kulihat sebelumnya, dan ketika aku sedang berdoa di kota Yopa, aku mendapat penglihatan: aku melihat turun dari langit semacam benda sebesar kain lebar yang tergantung pada keempat sudutnya, dan benda itu datang ke arahku."
Ayat dari Kitab Para Rasul pasal 11 ayat 6 ini membuka tirai menuju salah satu momen krusial dalam perjalanan iman para pengikut Kristus. Kisah ini berpusat pada Rasul Petrus, seorang tokoh sentral dalam penyebaran Injil setelah kebangkitan Yesus. Penglihatan yang dialami Petrus di Yopa bukanlah sekadar mimpi biasa, melainkan sebuah pesan ilahi yang mendalam, dirancang untuk mengubah persepsi dan tindakan para hamba Tuhan. Dalam konteks sejarah, ajaran agama pada masa itu seringkali memisahkan antara kelompok yang dianggap "suci" dan "najis," terutama dalam hal hubungan sosial dan makanan. Umat Yahudi memiliki batasan-batasan ketat mengenai siapa yang boleh mereka dekati dan bergaul dengannya.
Dalam penglihatan tersebut, Petrus melihat sebuah gambaran yang sangat visual: selembar kain lebar diturunkan dari langit, terikat pada keempat sudutnya. Di dalam kain itu, terdapat berbagai macam binatang, baik yang halal maupun yang haram menurut hukum Taurat. Perintah untuk menyembelih dan memakannya pun datang. Reaksi awal Petrus, yang penuh dengan keengganan dan penolakan, sangat mencerminkan pemahaman agamanya saat itu. Ia berseru, "Tidak, Tuhan, karena aku belum pernah makan sesuatu yang haram dan najis." Penolakan ini bukanlah bentuk keras kepala semata, melainkan ekspresi dari keyakinan dan ketaatan yang ia pegang teguh sesuai dengan ajaran nenek moyangnya.
Namun, Tuhan memiliki rencana yang lebih besar. Penglihatan ini diulang-Nya sebanyak tiga kali, menunjukkan betapa pentingnya pesan yang ingin disampaikan. Suara dari langit menyatakan, "Apa yang telah disucikan Allah, jangan engkau sebut najis." Pernyataan ini adalah sebuah revolusi teologis dan sosial. Ini menandakan bahwa pembatasan-pembatasan yang ada sebelumnya, yang memisahkan manusia berdasarkan bangsa atau aturan-aturan ritual, kini telah dihapuskan oleh karya penebusan Kristus. Maksud Tuhan adalah untuk membuka pintu keselamatan dan persekutuan bagi semua bangsa, tanpa terkecuali.
Kisah ini berlanjut dengan kedatangan utusan dari Kornelius, seorang perwira Romawi yang saleh namun bukan Yahudi. Utusan tersebut mencari Petrus untuk mengundangnya datang ke Kaisarea. Pada saat yang sama, Roh Kudus menegur Petrus, memintanya untuk tidak ragu pergi bersama mereka. Petrus akhirnya memahami arti penglihatannya. Kain lebar yang turun dari langit melambangkan bahwa tidak ada lagi kelompok manusia yang dianggap najis di mata Allah. Semua orang, baik Yahudi maupun bukan Yahudi, kini memiliki akses yang sama kepada Tuhan melalui iman kepada Yesus Kristus. Penglihatan ini membuka jalan bagi Petrus untuk memberitakan Injil kepada Kornelius dan keluarganya, yang kemudian menjadi orang-orang bukan Yahudi pertama yang menerima Kristus. Peristiwa ini menjadi tonggak penting dalam pemahaman bahwa Gereja Kristus adalah satu tubuh yang terdiri dari berbagai bangsa, dipersatukan oleh iman, bukan oleh latar belakang etnis atau budaya. Kisah Rasul 11:6 menjadi pengingat abadi bahwa kasih Allah tidak terbatas dan rencana-Nya melampaui segala batasan manusia.