Memahami Konteks dan Makna
Kisah Para Rasul 11:7 mencatat sebuah momen krusial dalam pelayanan Rasul Petrus. Ayat ini, bersama dengan ayat-ayat sebelumnya dan sesudahnya, menggambarkan bagaimana Petrus sendiri mengalami sebuah pergeseran pemahaman yang mendalam mengenai jangkauan Injil. Ia yang tadinya sangat terikat pada hukum dan tradisi Yahudi, dipanggil untuk melihat bahwa kasih karunia Allah kini terbuka lebar bagi bangsa-bangsa non-Yahudi (gentiles).
Dalam penglihatan yang diberikan Allah kepadanya, Petrus melihat seekor binatang yang besar, yang oleh hukum Taurat dianggap haram. Suara dari surga memerintahkan agar ia menyembelih dan memakannya. Penolakan awal Petrus, "Tuan, janganlah berbuat demikian, sebab aku belum pernah makan sesuatu yang haram dan yang najis," mencerminkan pandangan umum orang Yahudi pada masa itu. Namun, respons ilahi yang datang setelahnya, "Apa yang telah disucikan Allah, janganlah engkau nyatakan haram," menjadi inti dari pelajaran yang harus ia terima.
Kisah Rasul 11:7 secara spesifik mengutip perkataan Petrus ketika ia mulai berinteraksi dengan Kornelius, seorang perwira Romawi yang saleh, yang telah diinstruksikan oleh Allah untuk memanggil Petrus. Ketika Petrus tiba di rumah Kornelius, ia disambut dengan penuh hormat. Rupanya, Kornelius sendiri, dan juga para kerabat serta sahabatnya, berlutut di kaki Petrus untuk menyembahnya. Inilah momen di mana Petrus mengucapkan:
"dan ketika aku melihatnya, aku berdekatan kepadanya dan berkata: 'Tuan, turunkanlah:'. Tetapi ia berkata kepadaku: 'Jangan berbuat demikian, sebab aku ini seorang rasul sama seperti engkau dan orang-orangmu yang lain.'"
Sebuah Pelajaran Rendah Hati dan Kesetaraan
Perkataan Petrus, "Tuan, turunkanlah," menunjukkan kesadaran mendalam akan statusnya sebagai utusan Allah. Ia tidak ingin disembah, karena ia hanyalah manusia, sama seperti orang lain di hadapan Allah. Penekanan Petrus bahwa ia adalah seorang rasul "sama seperti engkau dan orang-orangmu yang lain" menjadi sangat signifikan dalam konteks ini. Ini bukan sekadar penolakan untuk disembah, tetapi juga sebuah pengakuan implisit bahwa dalam Kristus, ada kesetaraan.
Kisah ini sangat penting karena menandai titik balik dalam penyebaran Kekristenan. Sebelum ini, Injil sebagian besar terbatas pada orang Yahudi. Namun, melalui pengalaman Petrus, Allah membuka pintu bagi gentile untuk menerima keselamatan. Petrus, yang tadinya memiliki prasangka berdasarkan tradisi, dipaksa oleh Allah untuk melihat bahwa karya keselamatan Kristus berlaku untuk semua orang, tanpa memandang latar belakang ras atau budaya mereka.
Pengalaman ini mengajarkan kita tentang pentingnya kerendahan hati, baik bagi yang melayani maupun yang menerima. Petrus, meskipun seorang rasul yang memiliki otoritas rohani, menolak penyembahan. Sebaliknya, ia menekankan kesamaan martabat di hadapan Allah. Ini adalah cerminan sejati dari semangat Injil yang membawa pembebasan dan kesetaraan.
Kisah Rasul 11:7, dalam konteks yang lebih luas, berbicara kepada kita tentang bagaimana Allah seringkali bekerja untuk mengubah cara pandang kita. Ia memanggil kita untuk melepaskan prasangka, membuka hati bagi pemahaman yang lebih luas, dan menyadari bahwa kasih karunia-Nya tersedia bagi siapa saja yang mau menerimanya. Ini adalah pengingat yang kuat bahwa dalam perjalanan iman, kita senantiasa dipanggil untuk tumbuh, belajar, dan semakin mencerminkan nilai-nilai Kerajaan Allah yang penuh kasih dan kesetaraan.