Kisah para rasul, khususnya pasal 14 ayat 11, menyajikan sebuah momen yang sangat menarik dan sarat makna dalam perjalanan pelayanan Paulus dan Barnabas. Peristiwa ini terjadi di kota Listra, sebuah kota di Asia Kecil yang saat itu masih memegang teguh tradisi dan kepercayaan pagan. Ayat ini mencatat reaksi dramatis penduduk setempat ketika melihat kesembuhan seorang pria lumpuh seumur hidup berkat kuasa ilahi yang bekerja melalui Paulus.
Ketika Paulus, dengan kuasa Roh Kudus, memerintahkan orang lumpuh itu untuk berdiri dan berjalan, seketika itu juga orang itu melompat berdiri dan berjalan. Bagi orang-orang Listra yang hidup dalam dunia di mana dewa-dewa dianggap aktif berinteraksi dengan manusia, pemandangan luar biasa ini ditafsirkan sebagai bukti konkret bahwa dewa-dewa telah turun ke tengah-tengah mereka dalam rupa manusia. Mereka segera menyimpulkan bahwa Paulus dan Barnabas adalah representasi dari dewa-dewa mereka.
Penduduk Listra begitu terkesan dan kagum hingga mereka segera mengambil tindakan. Mereka mengangkat suara mereka dengan bahasa daerah mereka, bahasa Lidia, dan meneriakkan pengakuan mereka. Frasa "Dewa-dewa telah turun ke mari dalam rupa manusia" menjadi seruan mereka. Kemungkinan besar, mereka mengidentifikasi Paulus sebagai Hermes, dewa utusan dan pembicara, karena Paulus adalah orang yang berbicara dan membawa pesan. Sementara Barnabas mungkin diidentifikasi sebagai Zeus, bapa para dewa, karena perawakannya yang lebih tua dan agung.
Reaksi ini menunjukkan betapa dalamnya pengaruh politeisme di masyarakat tersebut. Mereka tidak berpikir secara rasional atau ilmiah, melainkan langsung menghubungkan kejadian luar biasa dengan keberadaan dewa-dewa yang mereka sembah. Mereka bahkan bersiap untuk melakukan ritual persembahan, sebagaimana dicatat dalam ayat-ayat berikutnya, yang melibatkan para imam dan persembahan korban. Ini adalah demonstrasi iman yang salah arah, didorong oleh kekaguman atas mukjizat, namun tidak diarahkan pada kebenaran yang sejati.
Kisah Rasul 14:11 bukan hanya sekadar narasi tentang kesalahpahaman budaya. Ia menyoroti dua hal penting: pertama, kuasa Allah yang bekerja secara nyata melalui hamba-hamba-Nya untuk membawa kesembuhan dan perubahan. Mukjizat itu adalah tanda yang tak terbantahkan dari kehadiran dan kuasa ilahi. Kedua, tantangan yang dihadapi oleh para pewarta Injil. Mereka harus menghadapi dan menantang sistem kepercayaan yang telah mengakar kuat, serta mengarahkan hati manusia dari pemujaan terhadap ciptaan atau ilusi ilahi, kepada penyembahan kepada satu-satunya Allah yang benar.
Paulus dan Barnabas, tentu saja, berusaha untuk mengoreksi kesalahpahaman ini. Mereka merobek pakaian mereka dan berlari ke tengah-tengah orang banyak, menyerukan agar mereka berhenti dan menyadari bahwa mereka hanyalah manusia biasa yang membawa kabar baik tentang Allah yang hidup. Namun, momen awal di Listra ini menjadi pengingat kuat akan kesenjangan spiritual yang harus dijembatani oleh Injil, dan betapa seringnya manusia mencari jawaban atau keilahian dalam hal-hal yang salah.
Ayat ini juga dapat dilihat sebagai metafora bagi bagaimana manusia seringkali mencari 'dewa-dewa' dalam berbagai bentuk di zaman modern – baik itu kekayaan, kekuasaan, reputasi, atau teknologi canggih – tanpa menyadari bahwa solusi dan kedamaian sejati hanya datang dari Sang Pencipta. Kisah ini mengajarkan kita untuk selalu waspada terhadap segala bentuk penyembahan berhala, baik yang terang-terangan maupun yang terselubung, dan untuk mengarahkan segala kekaguman dan pujian kepada Allah yang benar.