Kisah Para Rasul pasal 14 dan 15 menghadirkan dua babak penting dalam misi para rasul, khususnya Paulus dan Barnabas, dalam menyebarkan kabar baik tentang Yesus Kristus. Kedua pasal ini tidak hanya menunjukkan keberhasilan pemberitaan Injil, tetapi juga tantangan, pertentangan, dan keputusan krusial yang membentuk jalan gereja mula-mula.
Pasal 14 mengisahkan perjalanan misi Paulus dan Barnabas ke kota-kota di Antiokhia Pisidia, Listra, dan Derbe. Di sana, mereka dengan berani memberitakan Injil, yang menghasilkan banyak pengikut baru. Namun, penyebaran Injil ini tidak luput dari penolakan keras. Pemimpin Yahudi yang tidak percaya menghasut orang banyak untuk menentang mereka, bahkan sampai melempari Paulus dengan batu dan mengeluarkannya dari kota, dengan anggapan bahwa ia telah mati. Ini adalah bukti nyata dari penganiayaan yang harus mereka hadapi demi iman.
Meskipun mengalami penganiayaan, semangat mereka tidak padam. Peristiwa di Listra juga menyoroti bagaimana orang-orang cenderung mengagungkan manusia. Ketika Barnabas dan Paulus menyembuhkan seorang lumpuh, orang-orang mengira mereka adalah dewa (Barnabas sebagai Zeus dan Paulus sebagai Hermes). Para rasul dengan tegas menolak penyembahan ini dan menekankan bahwa mereka hanyalah manusia biasa yang membawa pesan dari Allah yang hidup. Ini adalah pengingat penting tentang fokus yang benar dalam Kekristenan: bukan pada penyembah, melainkan pada Sang Pencipta.
Yang patut dicatat adalah sikap Paulus dan Barnabas setelah kejadian ini. Mereka tidak lari dari tantangan, melainkan justru memperkuat murid-murid yang baru bertobat, menasihati mereka untuk tetap teguh dalam iman dan mengingatkan bahwa untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah, mereka harus melalui banyak penderitaan. Kemudian, mereka kembali ke kota-kota yang telah mereka kunjungi, memperkuat jemaat dan menetapkan penatua-penatua di setiap gereja. Tindakan ini menunjukkan kebijaksanaan dan kepemimpinan mereka dalam membangun dan memelihara jemaat.
Pasal 15 membawa kita pada sebuah persidangan penting di Yerusalem. Muncul isu krusial yang mengancam persatuan gereja: apakah orang-orang bukan Yahudi yang bertobat harus disunat dan menaati hukum Taurat Musa agar bisa diselamatkan? Sekelompok orang dari golongan Farisi yang telah menjadi percaya bersikeras bahwa hal ini wajib dilakukan.
Isu ini menjadi perdebatan sengit. Paulus dan Barnabas sangat menentang pandangan ini, karena mereka percaya bahwa keselamatan diperoleh melalui kasih karunia Allah oleh iman kepada Yesus Kristus, bukan oleh perbuatan hukum Taurat. Untuk menyelesaikan masalah ini, rasul-rasul dan para penatua berkumpul di Yerusalem. Ini adalah momen bersejarah, di mana keputusan penting dibuat untuk seluruh gereja.
Setelah diskusi panjang dan banyak perdebatan, Petrus memberikan kesaksian yang kuat tentang bagaimana Allah tidak membedakan orang Yahudi dan bukan Yahudi, melainkan memurnikan hati mereka oleh iman. Yakobus, pemimpin gereja di Yerusalem, kemudian memberikan keputusan yang bijaksana. Ia mengutip nubuat nabi-nabi untuk mendukung bahwa keselamatan berlaku bagi semua bangsa. Keputusan akhirnya adalah bahwa orang-orang percaya bukan Yahudi tidak perlu disunat atau mematuhi seluruh hukum Taurat, tetapi hanya perlu menjauhi hal-hal yang dicemari berhala, percabulan, daging binatang yang dicekik, dan darah.
Keputusan ini merupakan kemenangan besar bagi prinsip anugerah dan iman. Hal ini membebaskan orang percaya bukan Yahudi dari beban hukum Taurat yang berat dan memungkinkan penyebaran Injil secara lebih luas ke seluruh dunia tanpa hambatan budaya dan ritual yang tidak perlu untuk keselamatan. Ini menegaskan bahwa iman kepada Yesus Kristus adalah pondasi keselamatan yang mempersatukan semua orang percaya, baik Yahudi maupun bukan Yahudi, dalam satu tubuh Kristus.
Kedua pasal ini mengajarkan kita tentang keberanian dalam menghadapi penolakan, pentingnya kesetiaan pada pemberitaan Injil, dan hikmat dalam mengambil keputusan yang menjaga kesatuan dan kebenaran ajaran Kristus.