Pasal 22 dan 23 dari Kitab Kisah Para Rasul membawa kita pada momen krusial dalam kehidupan Rasul Paulus. Setelah penangkapan dramatisnya di Yerusalem, Paulus dihadapkan pada serangkaian persidangan yang menguji imannya, kesetiaannya, dan kebenaran Injil yang ia sebarkan. Kisah ini bukan hanya tentang perjuangan seorang tokoh sentral, tetapi juga refleksi tentang bagaimana kebenaran seringkali disambut dengan penolakan dan kekerasan.
Cerita dimulai dengan Paulus diizinkan berbicara kepada kerumunan orang Yahudi yang marah di halaman Bait Allah. Alih-alih memberikan pembelaan formal, Paulus justru memulai dengan menceritakan kisah hidupnya sendiri. Ia menggambarkan bagaimana dirinya dulu adalah seorang Farisi yang taat, bahkan penganiaya jemaat Kristus yang paling gigih. Namun, pengalaman luar biasa di jalan menuju Damaskus mengubah segalanya. Ia melihat Kristus yang bangkit dan mendengar suara-Nya. Kesaksian pribadi ini, meskipun disampaikan dalam bahasa Ibrani agar dapat dipahami, tidak meredakan kemarahan massa. Sebaliknya, penyebutan nama Yesus yang ditolak dan seruan agar ia dibungkam justru memicu kerusuhan yang lebih besar, memaksa para serdadu Romawi untuk campur tangan dan menyelamatkan nyawanya.
Setelah diamankan di benteng, Paulus dibawa ke hadapan Mahkamah Agama (Sanhedrin). Di sinilah ia menunjukkan keberanian dan hikmatnya. Ketika ia melihat bahwa sebagian besar anggota mahkamah adalah orang Saduki dan Farisi, ia dengan sengaja menyatakan dirinya sebagai seorang Farisi, yang percaya pada kebangkitan orang mati. Pernyataan ini berhasil memicu perselisihan sengit antara kedua kelompok tersebut, mengalihkan fokus dari dirinya dan membahayakan keselamatannya. Keributan kembali terjadi, dan lagi-lagi, tentara Romawi harus turun tangan untuk melindunginya.
Malam itu, Tuhan Yesus menampakkan diri kepada Paulus dalam sebuah penglihatan, menguatkannya. Ia berfirman, "Teguhkanlah hatimu, Saulus! Sebab sebagaimana engkau telah bersaksi tentang Aku di Yerusalem, demikian juga harus engkau bersaksi di Roma." Perkataan ini memberikan Paulus harapan dan tujuan yang lebih besar di tengah ancaman maut.
Kisah kemudian mengungkap adanya konspirasi dari sekelompok orang Yahudi yang bersumpah untuk membunuh Paulus. Mereka bahkan meminta para pemimpin agama untuk membawa Paulus kembali ke hadapan Mahkamah Agama dengan dalih ingin menanyainya lebih lanjut, padahal niat mereka adalah untuk mencegat dan membunuhnya dalam perjalanan. Namun, rencana jahat ini diketahui oleh kemenakan Paulus, yang segera melaporkannya kepada sang rasul. Paulus kemudian meminta agar ia dibawa ke Kaisar, sebuah langkah yang menunjukkan keyakinannya pada keadilan Romawi dan keinginannya untuk terus memberitakan Injil di tempat yang lebih luas.
Kisah rasul dalam pasal 22 dan 23 ini adalah bukti nyata dari keteguhan iman di tengah cobaan berat. Paulus tidak gentar meskipun dihadapkan pada kebencian massa, perpecahan para pemimpin agama, dan ancaman pembunuhan. Ia tetap teguh pada panggilannya untuk menjadi saksi Kristus, baik kepada orang Yahudi maupun non-Yahudi, bahkan hingga ke Roma. Perjalanan iman Paulus mengajarkan kita pentingnya kesaksian pribadi, keberanian dalam menghadapi oposisi, dan keyakinan akan janji Tuhan di saat-saat tergelap.