"Pergilah kepada bangsa ini dan katakanlah: ‘Kamu memang akan mendengar, tetapi tidak mengerti, kamu memang akan melihat, tetapi tidak menangkap."
Ayat dari Kitab Para Rasul pasal 28 ayat 26 ini merupakan pengulangan dari nubuat Yesaya yang disampaikan oleh Rasul Paulus. Frasa "kebenaran yang ditolak" merangkum inti dari pesan ini: sebuah realitas ilahi yang dihadirkan, namun dihadapkan pada penolakan oleh hati yang keras dan pikiran yang tertutup. Nubuat ini bukanlah kutukan yang tidak dapat diubah, melainkan sebuah pernyataan tentang konsekuensi dari pilihan manusia untuk tidak menerima pesan kebenaran yang disampaikan.
Rasul Paulus, dalam perjalanannya memberitakan Injil, seringkali mendapati situasi di mana sebagian orang menerima pesannya dengan sukacita dan keyakinan, sementara yang lain menolaknya dengan keras kepala. Penolakan ini tidak selalu datang dari ketidaktahuan, tetapi seringkali dari keengganan untuk mengubah cara pandang, kebiasaan, atau keyakinan yang sudah lama tertanam. Pesan tentang Yesus Kristus, Sang Juru Selamat, yang menawarkan pengampunan dosa dan kehidupan kekal, justru dianggap sebagai sesuatu yang aneh, mengganggu, atau bahkan menantang otoritas dan status quo yang ada.
Penolakan terhadap kebenaran Injil bukanlah fenomena baru. Sejak awal mula pewartaan Kristus, para murid dan pengikut-Nya telah menghadapi perlawanan. Yesus sendiri pernah berkata, "Jika dunia membenci kamu, ingatlah bahwa ia telah lebih dahulu membenci Aku" (Yohanes 15:18). Penolakan ini bisa datang dari berbagai kalangan: dari para pemimpin agama yang merasa terancam oleh ajaran baru, dari masyarakat umum yang tidak mau diganggu kenyamanannya, hingga dari individu yang hatinya telah mengeras oleh dosa dan kesombongan.
Ayat ini menggambarkan sebuah paradoks yang menyedihkan: telinga mendengar, namun tidak memahami; mata melihat, namun tidak menangkap. Ini menunjukkan bahwa pendengaran dan penglihatan fisik saja tidak cukup. Pemahaman yang sejati membutuhkan hati yang terbuka, pikiran yang mau belajar, dan kerendahan hati untuk menerima apa yang mungkin bertentangan dengan prasangka pribadi. Ketika hati tertutup, kebenaran yang paling jelas pun akan tampak samar, dan suara yang paling lantang pun akan terdengar seperti bisikan tak berarti.
Penting untuk diingat bahwa nubuat ini juga memiliki sisi lain. Bagian dari nubuat Yesaya yang dikutip Paulus, seperti yang tercatat dalam Kisah Rasul 28:27, juga menyatakan bahwa meskipun penolakan itu nyata, masih ada harapan. Allah tidak sepenuhnya meninggalkan mereka yang menolak. Ada janji tentang pemulihan, tentang pertobatan, dan tentang keselamatan yang akan datang ketika mereka akhirnya berbalik kepada Tuhan. Namun, proses menuju pemahaman dan penerimaan itu seringkali harus melalui tahapan di mana kebenaran itu terasa "tersembunyi" atau tidak dapat dijangkau oleh mereka yang belum siap.
Kisah Rasul 28:26 mengajak kita untuk merefleksikan sikap hati kita terhadap kebenaran rohani. Apakah kita termasuk orang yang terbuka untuk mendengar dan memahami, ataukah kita cenderung menutup diri? Di era informasi yang begitu melimpah seperti sekarang, kita mungkin terpapar pada berbagai macam kebenaran, namun seringkali yang paling penting, yaitu kebenaran ilahi, justru mudah diabaikan atau ditolak karena berbagai alasan. Marilah kita berdoa agar hati kita senantiasa terbuka untuk menerima firman-Nya, sehingga kita dapat melihat dan memahami kebenaran-Nya dengan jelas.