Simbol Keteguhan Iman

Kisah Rasul 5:33: Ketika Iman Bertemu Tantangan

"Mendengar perkataan itu menjadi sangat sakit hati mereka dan mereka berencana membunuh rasul-rasul itu." (Kisah Para Rasul 5:33)

Ayat dari Kisah Para Rasul 5:33 ini menyajikan sebuah momen krusial dalam penyebaran Injil. Kita melihat di sini bagaimana para rasul, khususnya Petrus dan Yohanes, menghadapi penolakan keras dari para pemimpin agama Yahudi. Keberanian mereka dalam memberitakan tentang Yesus Kristus, Sang Mesias, telah menyentuh hati banyak orang, tetapi juga menimbulkan kemarahan yang membara di kalangan otoritas yang merasa terancam oleh ajaran baru ini.

Sebelum ayat ini, kita membaca bagaimana para rasul telah ditangkap, diadili, dan bahkan diancam. Namun, mereka tidak gentar. Petrus dengan tegas menyatakan, "Kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia." Pernyataan ini adalah inti dari iman mereka: sebuah komitmen yang teguh pada kebenaran ilahi, bahkan ketika berhadapan dengan kekuasaan duniawi. Mereka telah menyaksikan kebangkitan Kristus, mengalami kuasa Roh Kudus, dan melihat mukjizat-mukjizat terjadi melalui tangan mereka. Pengalaman-pengalaman ini membebani mereka dengan keyakinan yang tak tergoyahkan.

Ketika para pemimpin agama Sanhedrin mendengar perkataan Petrus yang berani, kemarahan mereka mencapai puncaknya. Ayat 33 secara gamblang menggambarkan reaksi mereka: "Mendengar perkataan itu menjadi sangat sakit hati mereka dan mereka berencana membunuh rasul-rasul itu." Kata "sakit hati" di sini menunjukkan lebih dari sekadar ketidaksetujuan; ini adalah luka mendalam pada harga diri dan otoritas mereka. Ajaran para rasul meruntuhkan fondasi yang telah mereka bangun, menantang tradisi yang mereka junjung tinggi, dan mengancam posisi kekuasaan mereka. Puncaknya adalah keinginan untuk menghilangkan para rasul secara permanen.

Namun, sekali lagi, rencana mereka digagalkan oleh campur tangan ilahi. Gamaliel, seorang rabi terkemuka yang dihormati, mengajukan argumen yang bijaksana, mengingatkan para pemimpin tentang kegagalan gerakan-gerakan pemberontakan di masa lalu yang pada akhirnya lenyap dengan sendirinya. Ia menyarankan untuk membiarkan para rasul, dengan alasan bahwa jika pekerjaan mereka berasal dari manusia, maka pekerjaan itu akan gagal. Tetapi jika berasal dari Allah, maka tidak ada kekuatan yang dapat menghancurkannya. Nasihat ini, meskipun mungkin dilandasi oleh kehati-hatian politik, secara tidak sengaja memberikan jeda waktu yang sangat dibutuhkan bagi para rasul.

Kisah ini mengajarkan kita pelajaran yang berharga tentang keteguhan iman. Para rasul menunjukkan bahwa keyakinan yang mendalam pada Allah dapat memberikan kekuatan untuk menghadapi penindasan, ancaman, dan kebencian. Mereka tidak bersandar pada kekuatan mereka sendiri, melainkan pada kuasa Allah yang bekerja melalui mereka. Mereka siap menanggung penderitaan, bahkan kematian, demi kesaksian mereka tentang kebangkitan Kristus.

Dalam menghadapi tantangan hidup, seringkali kita tergoda untuk berkompromi atau mundur demi kenyamanan. Namun, kisah rasul-rasul ini mengingatkan kita akan pentingnya kesetiaan pada nilai-nilai luhur dan kebenaran ilahi. Meskipun kita mungkin tidak menghadapi ancaman fisik yang sama, kita tetap dihadapkan pada tekanan untuk menyesuaikan diri, mengabaikan prinsip, atau memilih jalan yang lebih mudah. Dengan merenungkan keberanian para rasul dan campur tangan Allah dalam situasi mereka, kita diingatkan bahwa iman yang sejati seringkali membutuhkan keteguhan, bahkan ketika berhadapan dengan penolakan. Pengalaman mereka menjadi sumber inspirasi bagi setiap orang yang ingin hidup dengan integritas dan keyakinan, mengetahui bahwa di tengah kesulitan, kuasa dan perlindungan ilahi selalu ada bagi mereka yang setia.