Kisah Para Rasul 5 & 6

"Baiklah kita taat kepada Allah lebih daripada kepada manusia." (Kisah Para Rasul 5:29)

Kitab Kisah Para Rasul menyajikan kisah yang dinamis tentang pertumbuhan gereja mula-mula. Bab 5 dan 6 memberikan gambaran menarik tentang bagaimana iman Kristen mulai mengakar kuat di Yerusalem, meskipun menghadapi tantangan dari otoritas agama dan masalah internal. Kisah ini adalah bukti kebesaran Allah dalam bekerja melalui umat-Nya, bahkan dalam situasi yang tampaknya rumit.

Kisah Para Rasul 5: Keberanian dan Konsekuensi

Bab ini dibuka dengan kisah Ananias dan Safira, sebuah pelajaran keras tentang kejujuran di hadapan Allah dan jemaat. Mereka menjual harta benda dan menyerahkan sebagian hasilnya untuk para rasul, namun berbohong mengenai jumlah yang sebenarnya. Tindakan mereka yang tidak tulus ini berujung pada kematian, sebuah peringatan keras bagi gereja tentang pentingnya integritas dan kesaksian yang murni. Meskipun kejadian ini terdengar mengerikan, tujuannya adalah untuk menanamkan rasa hormat dan kekudusan dalam komunitas yang baru terbentuk.

Namun, fokus bab ini tidak berhenti pada tragedi. Kematian Ananias dan Safira justru menarik perhatian orang banyak kepada Allah dan para rasul. Tanda-tanda dan mukjizat terus terjadi, menyembuhkan orang sakit dan mengusir roh jahat. Para rasul menunjukkan keberanian luar biasa ketika mereka ditangkap oleh Mahkamah Agama. Mereka bahkan dilepaskan dari penjara oleh malaikat dan diperintahkan untuk terus memberitakan Injil. Ketika diperintahkan untuk berhenti berkhotbah, Petrus dengan tegas menyatakan prinsip krusial: "Baiklah kita taat kepada Allah lebih daripada kepada manusia." Pernyataan ini menjadi landasan moral bagi orang percaya di sepanjang masa ketika menghadapi konflik antara perintah ilahi dan perintah manusia.

IMAN Simbol keteguhan iman dengan warna biru sejuk.

Kisah Para Rasul 6: Pertumbuhan dan Pelayanan

Pertumbuhan gereja yang pesat membawa tantangan baru. Bab 6 mencatat adanya keluhan dari kaum Yahudi berbahasa Yunani (Hellenistik) bahwa janda-janda mereka diabaikan dalam pembagian bantuan harian dibandingkan janda-janda berbahasa Ibrani. Ini adalah contoh klasik dari masalah administratif dan kecemburuan yang bisa muncul dalam komunitas mana pun, bahkan yang dipimpin oleh para rasul.

Menghadapi masalah ini, para rasul tidak mengabaikannya, tetapi dengan bijak menentukan prioritas mereka. Mereka memutuskan bahwa fokus utama mereka adalah berdoa dan melayani firman. Oleh karena itu, mereka mengusulkan agar jemaat memilih tujuh orang yang cakap, penuh Roh Kudus, dan bijaksana untuk mengurus pelayanan harian ini. Jemaat pun menyetujui usulan ini dan memilih orang-orang seperti Stefanus, Filipus, Prokorus, Nikanor, Timon, Parmenas, dan Nikolaus.

Para rasul kemudian menumpangkan tangan atas ketujuh orang ini, mengkonfirmasi pelayanan mereka. Pemilihan tujuh diaken ini adalah langkah penting dalam struktur organisasi gereja, memungkinkan para rasul untuk fokus pada tugas spiritual utama mereka sambil memastikan bahwa kebutuhan praktis jemaat terpenuhi. Ini menunjukkan bahwa Alkitab mengajarkan pentingnya keseimbangan antara pelayanan rohani dan pelayanan praktis, serta prinsip kepemimpinan yang melayani. Stefanus, salah satu dari ketujuh orang ini, kemudian menjadi tokoh sentral dalam bab-bab selanjutnya, menunjukkan bagaimana pelayanan yang setia, sekecil apapun, bisa berujung pada kesaksian yang luar biasa.