Kisah yang tercatat dalam Kitab Para Rasul pasal 5 ayat 9 membawa kita pada sebuah peristiwa yang menggemparkan di awal mula gereja mula-mula. Peristiwa ini melibatkan Ananias dan Safira, sepasang suami istri yang memiliki niat untuk berbuat baik dengan menjual tanah mereka dan memberikan hasilnya kepada para rasul untuk dibagikan kepada jemaat yang membutuhkan. Namun, ada niat terselubung yang menyertai perbuatan mereka.
Dalam semangat kemurahan hati yang sedang membuncah di antara para pengikut Kristus, banyak orang rela menjual harta benda mereka untuk membantu sesama. Ananias dan Safira juga mengikuti arus ini, namun mereka memilih untuk menahan sebagian dari hasil penjualan tanah itu. Tindakan ini sendiri belum tentu salah, karena kebebasan untuk memberi adalah hak setiap orang. Kesalahan fatal mereka justru terletak pada kebohongan yang mereka sampaikan.
Mereka sepakat untuk mengatakan kepada Petrus bahwa seluruh hasil penjualan tanah telah diberikan kepada para rasul. Kebohongan ini didasari oleh keinginan untuk dipuji dan dihormati oleh jemaat, seolah-olah mereka telah memberikan segalanya. Perilaku seperti ini, meskipun tampak kecil di mata manusia, adalah sebuah bentuk pencobaan terhadap Roh Kudus yang menguduskan dan menuntun kehidupan para rasul serta jemaat.
Petrus, yang dikaruniai hikmat dari Roh Kudus, dapat melihat jauh ke dalam hati Ananias. Ia tidak tertipu oleh penampilan luar atau kata-kata manis yang diucapkan. Melalui firman Tuhan, Petrus menegur Ananias dengan keras, menanyakan mengapa ia berani bersepakat untuk mencobai Roh Tuhan. Ucapan Petrus dalam ayat 9 menjadi sebuah peringatan keras yang menyadarkan akan keseriusan dosa mereka. Ia bahkan meramalkan apa yang akan terjadi pada Ananias, sebuah hukuman yang akan menjadi kesaksian bagi semua orang.
Tak lama setelah itu, Ananias jatuh mati. Ketika Safira datang kemudian, dan juga berdusta mengenai hal yang sama, ia pun mengalami nasib yang sama. Peristiwa tragis ini menjadi sebuah pelajaran yang sangat berharga bagi gereja mula-mula. Ini menegaskan bahwa kemunafikan dan kebohongan tidak dapat ditoleransi dalam persekutuan orang percaya. Kasih Kristus memang mencakup pengampunan, namun juga menuntut integritas dan ketulusan hati.
Kisah Ananias dan Safira, sebagaimana terungkap dalam Kisah Rasul 5:9, memberikan kita pelajaran penting yang relevan hingga hari ini. Dosa penipuan, kemunafikan, dan kebohongan, sekecil apapun itu, dapat merusak persekutuan dan melukai hati Tuhan. Kita dipanggil untuk hidup dalam kebenaran dan ketulusan, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Menjual dosa, artinya mencoba menutupi kesalahan dengan kebohongan atau sikap pura-pura, adalah tindakan yang sangat berbahaya. Sebaliknya, kita diajak untuk selalu mengandalkan tuntunan Roh Kudus, yang akan menuntun kita pada kebenaran dan integritas dalam setiap aspek kehidupan kita.
Mari kita renungkan kisah ini sebagai pengingat untuk selalu menjaga hati kita bersih dan pikiran kita lurus di hadapan Tuhan dan sesama. Kebenaran adalah fondasi yang kokoh bagi iman yang sejati.