Ayat pembuka dalam pasal 6 Kitab Kisah Para Rasul ini membawa kita pada sebuah momen krusial dalam pertumbuhan gereja mula-mula. Setelah periode sukacita dan pertumbuhan pesat yang diuraikan di pasal-pasal sebelumnya, muncullah sebuah tantangan internal. Pertumbuhan yang cepat, meskipun merupakan berkat, ternyata juga membawa kompleksitas baru. Komunitas Kristen yang tadinya relatif homogen mulai menunjukkan keragaman, dan keragaman ini, pada satu titik, menimbulkan gesekan.
Perselisihan yang muncul secara spesifik terjadi antara dua kelompok Yahudi yang memiliki latar belakang budaya dan bahasa yang sedikit berbeda: orang Yahudi berbahasa Yunani (Hellenistik) dan orang Yahudi berbahasa Ibrani. Perbedaan ini mungkin bukan hanya soal bahasa, tetapi juga mencakup cara pandang budaya dan mungkin juga status sosial. Meskipun mereka sama-sama penganut ajaran Yesus, latar belakang mereka membuat mereka sedikit terpisah.
Akar dari perselisihan ini adalah masalah yang sangat mendasar namun penting: pembagian bantuan sehari-hari kepada para janda. Di budaya zaman itu, janda seringkali berada dalam posisi rentan secara ekonomi dan sosial. Gereja mula-mula, sebagai sebuah komunitas yang mengutamakan kasih dan kepedulian, tentu berusaha untuk memenuhi kebutuhan mereka yang paling lemah. Namun, dalam proses pembagian ini, terjadi ketidakadilan. Janda-janda dari kelompok Yahudi berbahasa Yunani merasa terabaikan, sementara janda-janda dari kelompok berbahasa Ibrani mendapatkan perhatian lebih.
Situasi ini menjadi ujian bagi kepemimpinan para rasul. Para rasul yang fokus pada pengajaran Firman Tuhan dan doa, menyadari bahwa tugas pelayanan yang berkaitan dengan urusan duniawi ini mulai menggerogoti waktu dan energi mereka yang seharusnya dicurahkan untuk hal rohani yang lebih utama. Mereka memahami bahwa menjaga keharmonisan dan keadilan dalam komunitas adalah hal yang vital bagi kelangsungan kesaksian iman mereka.
Menanggapi perselisihan ini, para rasul tidak mengabaikannya. Mereka memanggil seluruh orang percaya dan dengan bijak mengusulkan solusi. Mereka menyatakan bahwa tidaklah pantas bagi mereka untuk meninggalkan tugas pelayanan Firman demi melayani meja atau urusan administratif sehari-hari. Sebaliknya, mereka mengusulkan agar jemaat memilih tujuh orang pria yang terkemuka, penuh Roh Kudus dan hikmat, untuk ditugaskan mengurus pekerjaan pelayanan tersebut. Ini adalah momen kelahiran jabatan diaken, yang tugas utamanya adalah melayani kebutuhan fisik dan sosial jemaat, sehingga para rasul dapat terus berfokus pada tugas pewartaan Injil dan doa.
Kisah Rasul 6:1 mengingatkan kita bahwa bahkan dalam komunitas yang dipimpin oleh para rasul dan dipenuhi Roh Kudus, tantangan dan perselisihan dapat muncul. Namun, kunci penyelesaiannya terletak pada pengakuan masalah, komunikasi yang terbuka, dan kemauan untuk mencari solusi yang memuliakan Tuhan serta membangun keutuhan umat-Nya. Pembentukan jabatan diaken menjadi contoh klasik bagaimana gereja belajar untuk berorganisasi dan memberdayakan lebih banyak orang untuk melayani, sesuai dengan karunia dan panggilan mereka, demi kelancaran pekerjaan Tuhan secara keseluruhan.