"Tetapi mereka tidak sanggup melawan hikmat dan Roh yang berbicara dalam dia." (Kisah Para Rasul 6:10)
Simbolisasi hikmat dan kebenaran yang terpancar.
Pasal 6 Kitab Kisah Para Rasul menceritakan sebuah momen krusial dalam pertumbuhan gereja mula-mula. Seiring dengan pesatnya penyebaran Injil, timbul berbagai tantangan, salah satunya adalah potensi ketidakpuasan di antara jemaat mengenai pembagian bantuan makanan kepada para janda. Untuk mengatasi hal ini, para rasul menunjuk tujuh orang diaken yang penuh Roh Kudus dan hikmat untuk melayani, salah satunya adalah Stefanus.
Stefanus bukan sekadar pelayan makanan. Ia adalah seorang penginjil yang bersemangat dan pembicara yang fasih. Kemampuannya untuk menerangkan kebenaran Injil dan membela iman Kristen membuatnya menjadi target bagi para penentang. Ayat 10 dari pasal ini menggambarkan puncak dari konfrontasi yang dialami Stefanus. Ia dibawa ke hadapan Mahkamah Agama, di mana ia dituduh menghujat Allah dan Taurat Musa.
Ketika dihadapkan pada para penentang yang penuh kebencian dan berusaha menjebaknya, Stefanus tidak gentar. Kisah Para Rasul pasal 6 ayat 8 menjelaskan bahwa "Stefanus, yang penuh dengan kasih karunia dan kekuatan, mengerjakan perbuatan-perbuatan ajaib dan tanda-tanda besar di antara orang banyak." Namun, di hadapan Mahkamah Agama, ia menunjukkan senjata yang jauh lebih ampuh: hikmat dan kehadiran Roh Kudus.
Bagaimana Stefanus mampu melawan argumen-argumen yang dilontarkan kepadanya? Alkitab secara ringkas menyatakan bahwa "mereka tidak sanggup melawan hikmat dan Roh yang berbicara dalam dia." Ini bukan hikmat duniawi atau kepintaran semata. Ini adalah hikmat surgawi, pemahaman mendalam tentang kebenaran Allah yang diilhamkan langsung oleh Roh Kudus. Setiap kata yang diucapkannya, setiap argumen yang disampaikannya, dipenuhi dengan otoritas ilahi yang membuat lawan-lawannya tidak berdaya.
Kisah Rasul 6:10 memberikan pelajaran berharga bagi umat percaya sepanjang masa. Pertama, ia mengingatkan kita akan pentingnya memiliki "hikmat dan Roh" dalam kehidupan kita. Ini bukan sesuatu yang bisa kita hasilkan sendiri, tetapi sebuah anugerah yang diperoleh melalui doa, pembelajaran Firman Tuhan, dan penyerahan diri kepada pimpinan Roh Kudus.
Kedua, kisah ini menunjukkan bahwa kebenaran Injil seringkali akan memicu pertentangan. Ketika kita berani berbicara tentang iman kita, kita mungkin akan menghadapi orang-orang yang tidak setuju, bahkan yang memusuhi. Namun, seperti Stefanus, kita dipanggil untuk menghadapinya bukan dengan kekuatan fisik atau argumen licik, melainkan dengan kepercayaan pada hikmat ilahi yang diberikan Tuhan.
Terakhir, meskipun Stefanus akhirnya menjadi martir pertama gereja, keberanian dan kesaksiannya tidak sia-sia. Kematiannya menjadi benih bagi penyebaran Injil lebih lanjut. Kisah ini menginspirasi kita untuk hidup berani, dipenuhi hikmat dan Roh, siap untuk membela iman kita di setiap kesempatan, dengan keyakinan bahwa kebenaran yang kita pegang akan selalu memiliki kekuatan yang tak terbantahkan.