Kisah Rasul 7:29 - Musa dan Tanah Kanaan

"Oleh iman Musa, ketika ia sudah menjadi dewasa, menolak ia disebut anak cucu putri Firaun,
lebih suka menderita sengsara bersama-sama dengan umat Allah daripada untuk sementara waktu menikmati kesenangan dosa."
Musa Kesenangan Dosa Sengsara Umat Allah

Kisah Rasul 7:29 membawa kita pada momen krusial dalam kehidupan Musa, seorang tokoh sentral dalam sejarah bangsa Israel dan pewahyuan ilahi. Ayat ini, yang disampaikan oleh Santo Stefanus dalam pidatonya yang berani di hadapan Mahkamah Agama Yahudi, menyoroti integritas iman Musa yang luar biasa. Setelah dibesarkan di lingkungan istana Firaun yang penuh kemewahan dan kekuasaan, Musa dihadapkan pada sebuah pilihan fundamental yang akan menentukan jalannya hidupnya dan nasib jutaan orang.

Sebagai anak angkat putri Firaun, Musa memiliki segala kenyamanan dan kesempatan yang ditawarkan oleh kehidupan kerajaan Mesir. Ia bisa saja menikmati segala kesenangan duniawi, meraih kekayaan dan kedudukan tinggi tanpa beban. Namun, iman yang ditanamkan dalam hatinya, atau mungkin panggilan ilahi yang mulai bergejolak, mendorongnya untuk melihat melampaui gemerlap duniawi. Ia mulai menyadari identitas sejatinya sebagai bagian dari bangsa Israel yang tertindas dan teraniaya oleh perbudakan di Mesir.

Keputusan Musa untuk "menolak ia disebut anak cucu putri Firaun" bukanlah tindakan gegabah, melainkan sebuah pernyataan iman yang mendalam. Ia secara sadar memilih untuk melepaskan status sosial yang tinggi dan kemewahan yang melimpah. Pilihan ini bukan tentang kebencian terhadap Firaun atau keluarganya, melainkan tentang loyalitas yang lebih besar kepada Allah dan umat-Nya. Musa mengerti bahwa kesenangan dosa yang ditawarkan oleh kehidupan istana hanyalah bersifat sementara dan akan berujung pada kehancuran rohani. Sebaliknya, "menderita sengsara bersama-sama dengan umat Allah" adalah jalan yang dipilihnya, sebuah jalan yang, meskipun sulit dan penuh tantangan, memiliki nilai kekal dan berkat dari Allah.

Ayat ini menggambarkan pentingnya kesadaran akan identitas sejati di hadapan Allah dan prioritas nilai-nilai spiritual di atas kenikmatan duniawi. Musa telah melihat penderitaan bangsanya, dan iman yang dimilikinya memberinya keberanian untuk bersolidaritas dengan mereka. Penderitaan yang ia pilih bukanlah kesia-siaan, melainkan bagian dari rencana Allah yang lebih besar untuk membebaskan umat-Nya dari perbudakan. Melalui keputusannya, Musa menunjukkan bahwa iman yang hidup tidak takut pada pengorbanan, bahkan siap menghadapi kesulitan demi kebenaran dan keadilan ilahi.

Kisah Musa ini menjadi teladan abadi bagi setiap orang beriman. Ia mengajarkan bahwa ada harga yang harus dibayar untuk mengikuti panggilan ilahi, dan bahwa penderitaan yang dijalani dalam kesetiaan kepada Allah memiliki makna yang dalam dan tujuan yang mulia. Pilihan Musa adalah bukti bahwa hati yang teguh pada prinsip ilahi akan selalu menemukan kedamaian dan kepuasan yang sejati, bahkan di tengah badai kesulitan, karena ia menempatkan kepercayaan sepenuhnya kepada pemeliharaan dan janji-Nya.