Ilustrasi visualisasi perjalanan dan tantangan.
Kisah Para Rasul 7:39 mencatat sebuah momen krusial dalam narasi keimanan bangsa Israel. Ayat ini diucapkan oleh Stefanus dalam pidatonya yang berapi-api di hadapan Mahkamah Agama Yahudi, sebuah peristiwa yang akhirnya berujung pada kemartiran dirinya. Inti dari perkataan Stefanus adalah sebuah refleksi mendalam tentang perilaku umat pilihan Allah sepanjang sejarah mereka, khususnya dalam menghadapi tuntunan ilahi.
Ayat ini menggarisbawahi sifat bangsa Israel yang berulang kali menolak dan membuang tuntunan yang diberikan Allah melalui para hamba-Nya. Stefanus merujuk pada nenek moyang mereka yang, meskipun telah mengalami pembebasan luar biasa dari perbudakan di Mesir, tidak serta-merta sepenuhnya mematuhi perintah Allah. Sebaliknya, mereka justru mendambakan kembali kehidupan lama yang penuh penindasan, sebuah bukti kuat dari hati yang keras dan pikiran yang tertutup.
Refleksi Stefanus dalam Kisah Rasul 7:39 bukanlah sekadar kritik sejarah, melainkan sebuah peringatan keras. Ia mengingatkan pendengarnya tentang bagaimana para leluhur mereka menolak Musa, nabi yang diutus Allah untuk memimpin mereka keluar dari Mesir. Penolakan ini bukan hanya terhadap pribadi Musa, tetapi terhadap kuasa dan kehendak Allah yang bekerja melaluinya. Akibatnya, bangsa Israel tidak dapat mencapai tanah perjanjian dengan segera, melainkan tersesat di padang gurun selama empat puluh tahun.
Fenomena ini menunjukkan sebuah pola yang menyedihkan dalam sejarah keimanan. Ketika Allah menawarkan jalan keluar dari kesulitan, kebebasan dari penindasan, atau tuntunan menuju kehidupan yang lebih baik, manusia seringkali cenderung berpegang pada yang sudah dikenal, meskipun itu buruk, daripada merangkul yang baru dan belum pasti. Kerinduan akan Mesir yang penuh makanan (meskipun sebagai budak) mengalahkan keinginan untuk kebebasan di tanah yang dijanjikan.
Kisah Rasul 7:39 memberikan pelajaran yang relevan hingga kini. Ia mengajarkan pentingnya keterbukaan hati dan pikiran terhadap firman Allah dan tuntunan Roh Kudus. Seringkali, kita mungkin lebih nyaman dengan cara-cara lama kita, kebiasaan yang tidak sehat, atau pandangan dunia yang sempit, daripada menerima perubahan yang ditawarkan oleh kebenaran ilahi. Penolakan terhadap tuntunan Allah, sekecil apapun itu, dapat menghambat pertumbuhan rohani kita dan menjauhkan kita dari tujuan yang telah ditetapkan bagi kita.
Stefanus mengingatkan bahwa sejarah penolakan tersebut menjadi sebuah tanda bahaya. Umat percaya pada masa kini dipanggil untuk belajar dari kesalahan leluhur mereka. Kita perlu memeriksa hati kita: apakah kita bersedia menerima kebenaran, bahkan ketika itu menantang kenyamanan kita? Apakah kita bersedia membuang "Mesir" dalam hidup kita – segala sesuatu yang menahan kita dari hubungan yang lebih dalam dengan Allah dan pelayanan yang tulus kepada-Nya?
Ayat ini menjadi saksi bisu tentang perjuangan abadi antara kepatuhan dan pemberontakan dalam hati manusia. Ia mengundang kita untuk merenungkan komitmen kita terhadap jalan Allah dan bersedia untuk dipimpin, meskipun jalan itu terkadang terasa sulit atau tidak dikenal. Dengan memahami kisah ini, kita dapat lebih menghargai anugerah keselamatan dan tuntunan ilahi yang senantiasa diberikan kepada kita.