Kisah Rasul 7:51: Peringatan Keras kepada Hati yang Keras

"Hai orang-orang yang tegar tengkuk dan yang tidak bersunat hati dan telinga! Kamu selalu melawan Roh Kudus, sama seperti nenek moyangmu, demikian juga kamu." (Kisah Para Rasul 7:51)
!

Ayat Kisah Para Rasul 7:51 merupakan bagian dari khotbah panjang yang disampaikan oleh Stefanus, salah satu dari tujuh diakon pertama dalam gereja mula-mula. Dalam momen kritis ini, Stefanus menghadapi tuduhan palsu dan pengadilan yang penuh kebencian dari para pemimpin Yahudi. Khotbahnya adalah sebuah kesaksian yang kuat tentang sejarah keselamatan Allah bagi umat-Nya, dimulai dari Abraham hingga kedatangan Yesus Kristus.

Namun, bagian akhir dari khotbahnya berubah menjadi sebuah teguran yang sangat tajam. Stefanus tidak ragu untuk menyatakan kebenaran, meskipun ia tahu risikonya. Ia menuduh para pendengarnya, terutama para pemimpin agama, sebagai orang yang "tegar tengkuk dan yang tidak bersunat hati dan telinga." Frasa ini bukanlah sekadar cercaan biasa, melainkan sebuah referensi yang mendalam terhadap hukum Perjanjian Lama. Ketegaran tengkuk menyimbolkan ketidakmauan untuk tunduk, sementara ketidakbersunatan hati dan telinga menunjukkan ketidakmampuan untuk memahami dan menerima kehendak Allah.

Stefanus melanjutkan dengan mengatakan bahwa mereka "selalu melawan Roh Kudus." Ini adalah tuduhan yang sangat serius. Roh Kudus adalah Pribadi ketiga dari Tritunggal Maha Kudus, yang diutus untuk membimbing, mengajar, dan menguatkan umat Allah. Dengan melawan Roh Kudus, mereka menunjukkan penolakan fundamental terhadap cara kerja Allah di tengah mereka. Sejarah yang panjang dari penolakan terhadap para nabi, dan kini penolakan terhadap Yesus yang diutus Allah, terulang kembali dalam sikap mereka terhadap Stefanus sendiri.

Peringatan ini sangat relevan tidak hanya bagi pendengar Stefanus pada masanya, tetapi juga bagi kita semua yang mengaku mengikuti Kristus. Seringkali, kita mungkin memiliki pengetahuan tentang kebenaran, kita mungkin berdoa dan beribadah, namun hati kita bisa saja masih terkunci terhadap teguran dan tuntunan Roh Kudus. Keteguhan hati yang berujung pada penolakan kebenaran, meskipun disampaikan dengan cara yang lembut sekalipun, adalah dosa yang serius di hadapan Allah. Ayat ini mengingatkan kita akan pentingnya hati yang terbuka dan mau belajar, telinga yang siap mendengar, dan tengkuk yang rela tunduk pada kehendak ilahi.

Menghadapi firman Tuhan, kita dipanggil untuk merenungkan respons kita. Apakah kita seperti para pendengar Stefanus yang menjadi marah dan mengusirnya, ataukah kita belajar dari kesaksiannya untuk memiliki hati yang lebih peka terhadap tuntunan Roh Kudus, sehingga kita tidak menjadi orang yang keras hati dan menolak apa yang Allah ingin nyatakan kepada kita?