Kisah Rasul 7:52 - Perlawanan Terhadap Kebenaran

"Siapakah di antara nabi-nabi yang tidak pernah dianiaya oleh nenek moyangmu? Mereka membunuh orang-orang yang terlebih dahulu memberitakan kedatangan Yang Benar itu, dan sekarang kamu menjadi penghianat dan pembunuh Dia."

Ayat dari Kisah Para Rasul pasal 7, ayat 52, merupakan puncak dari pidato panjang yang disampaikan oleh Stefanus, seorang diakon yang penuh iman dan Roh Kudus, di hadapan Mahkamah Agama Yahudi. Pidato ini bukan sekadar rentetan sejarah bangsa Israel, melainkan sebuah kesaksian yang tajam dan berani mengenai penolakan terus-menerus umat Israel terhadap para nabi dan bahkan terhadap Yesus Kristus sendiri. Kata-kata Stefanus bagaikan cambuk yang menyengat hati para pendengarnya, yang terkemuka di antaranya adalah para pemimpin agama dan tua-tua bangsanya.

Stefanus memulai dengan mengingatkan mereka akan panggilan Abraham, perjalanan bangsa Israel keluar dari Mesir di bawah pimpinan Musa, dan sejarah perjanjian mereka dengan Allah. Ia secara sistematis menunjukkan bagaimana bangsa itu, dari generasi ke generasi, telah melawan Roh Kudus dan menolak utusan-utusan Allah. Setiap kali Allah mengutus seorang nabi untuk membawa peringatan, bimbingan, atau nubuat tentang kedatangan Mesias, mereka malah menolaknya, bahkan ada yang menganiaya dan membunuh nabi-nabi tersebut. Ini adalah pola berulang yang tercatat dalam sejarah keagamaan mereka.

Namun, titik kritis pidato Stefanus datang ketika ia mengaitkan penolakan para leluhur mereka terhadap para nabi dengan tindakan generasi mereka sendiri. Dengan berani, ia menuduh mereka telah berkhianat dan membunuh "Yang Benar" itu. Frasa "Yang Benar" di sini merujuk langsung kepada Yesus Kristus, Sang Mesias yang telah mereka nantikan. Stefanus tidak ragu untuk menyatakan bahwa mereka, para pendengar pidatonya, telah mengkhianati dan membunuh Juruselamat mereka, setelah sebelumnya nenek moyang mereka juga menolak para nabi. Tuduhan ini sangat berat dan tidak dapat diterima oleh para pemimpin agama yang merasa diri mereka benar dan saleh.

Reaksi terhadap perkataan Stefanus sungguh dahsyat. Mereka "murka" dan "menggertakkan gigi" terhadapnya. Ini menunjukkan betapa dalamnya luka yang ditimbulkan oleh kebenaran yang diungkapkan Stefanus. Mereka tidak mampu menghadapi cermin yang disodorkan kepadanya. Kebenaran Injil, yang dibawa oleh Yesus dan para rasul, seringkali disambut dengan permusuhan dari mereka yang merasa terancam oleh ajaran baru tersebut, terutama ketika ajaran itu menantang kekuasaan dan tradisi yang sudah mengakar.

Kisah Stefanus mengingatkan kita bahwa pemberitaan kebenaran Ilahi tidak selalu disambut dengan sukacita. Sejarah mencatat bahwa banyak hamba Tuhan yang setia telah menghadapi penganiayaan, penolakan, bahkan kematian demi menyuarakan pesan Injil. Kisah Rasul 7:52 menjadi saksi bisu tentang bagaimana kerasnya hati manusia bisa menolak kebenaran, bahkan ketika kebenaran itu datang dalam bentuk paling murni, yaitu melalui Anak Allah sendiri. Perlawanan terhadap kebenaran adalah tema abadi yang terus bergaung sepanjang sejarah gereja, dan kisah Stefanus menjadi salah satu ilustrasi paling dramatisnya.