Kisah Rasul 7:54 - Stefanus Menghadapi Pengecutan Jiwa
"Ketika ahli-ahli Taurat mendengar perkataan itu, hati mereka sangat sakit hati dan mereka menggemertakkan gigi mereka terhadap dia."
Kisah Rasul pasal 7 mencatat momen puncak keberanian dan pengorbanan seorang hamba Tuhan yang luar biasa, yaitu Stefanus. Ayat 54, "Ketika ahli-ahli Taurat mendengar perkataan itu, hati mereka sangat sakit hati dan mereka menggemertakkan gigi mereka terhadap dia," menggambarkan reaksi keras dan penuh kebencian dari para pemimpin agama Yahudi terhadap kesaksian Stefanus. Kejadian ini bukan sekadar perselisihan biasa, melainkan sebuah ujian iman yang luar biasa, sebuah pertempuran rohani yang melibatkan kebenaran ilahi melawan keangkuhan manusia.
Stefanus, yang penuh dengan Roh Kudus, telah memberikan khotbah yang begitu kuat dan jelas, menguraikan sejarah bangsa Israel dan menunjuk kepada Yesus Kristus sebagai Mesias yang telah dijanjikan. Ia tidak takut untuk menyoroti kegagalan dan ketidaktaatan nenek moyang mereka, serta menuduh para pendengarnya sendiri telah membunuh Sang Mesias. Kegigihan dan ketajaman argumennya, yang didukung oleh kuasa Roh Kudus, tentu saja mengguncang fondasi kepercayaan para ahli Taurat dan pemimpin agama.
Reaksi yang tercatat dalam ayat 54 adalah ekspresi kemarahan yang mendalam. "Hati mereka sangat sakit hati" menunjukkan rasa perih dan tersinggung yang ekstrem. Mereka merasa argumen Stefanus menusuk langsung ke inti keyakinan mereka, menghancurkan kebanggaan rohani mereka, dan mengungkap kemunafikan mereka. Bukan hanya emosi, tetapi juga reaksi fisik yang keras terlihat pada frasa "mereka menggemertakkan gigi mereka terhadap dia." Ini adalah gambaran kemarahan yang membara, seperti binatang buas yang bersiap menerkam mangsanya. Mereka tidak lagi mencari kebenaran, melainkan hanya ingin membungkam dan menghancurkan Stefanus.
Meskipun menghadapi ancaman fisik yang nyata dan permusuhan yang mengancam nyawa, Stefanus menunjukkan ketenangan dan keteguhan yang luar biasa. Ia tidak gentar menghadapi kebencian mereka. Justru, dalam momen-momen paling kritis inilah, Stefanus menunjukkan gambaran iman yang teguh yang patut kita teladani. Kegigihannya bukan karena kesombongan, tetapi karena ia memiliki keyakinan yang mendalam pada kebenaran yang ia sampaikan, yang berasal dari Allah sendiri.
Kisah Stefanus mengingatkan kita bahwa ketika kebenaran ilahi disampaikan, seringkali akan ada penolakan dan permusuhan. Tidak semua orang bersedia menerima kebenaran, terutama jika kebenaran itu menuntut perubahan atau mengancam status quo mereka. Namun, seperti Stefanus, kita dipanggil untuk berbicara kebenaran dalam kasih, dengan keberanian yang bersumber dari iman kepada Kristus. Ia mengajarkan kepada kita bahwa iman yang sejati tidak akan padam oleh ancaman duniawi, melainkan justru bersinar lebih terang di tengah kegelapan.
Mari kita renungkan keberanian Stefanus. Dalam menghadapi ancaman dan kebencian, ia tetap fokus pada visi ilahi. Bahkan di akhir hidupnya, seperti yang dicatat dalam ayat-ayat selanjutnya, ia melihat surga terbuka dan Yesus berdiri di sebelah kanan Allah, dan ia memohon pengampunan bagi para penyerangnya. Ini adalah tingkat pengampunan dan kasih yang luar biasa, yang hanya dapat lahir dari hubungan yang mendalam dengan Tuhan. Kisah Rasul 7:54 bukan hanya tentang permusuhan, tetapi juga tentang kekuatan iman yang tak tergoyahkan di hadapan ujian terberat.