Kata sida-sida itu: "Bagaimanakah aku dapat mengerti, kalau tidak ada yang membimbing aku?" Lalu ia meminta Filipus naik dan duduk bersama-sama dengan dia.
Alt Text: Ilustrasi bergaya minimalis yang menggambarkan dua lingkaran (mewakili Filipus dan sida-sida) dengan garis putus-putus halus di antaranya, melambangkan percakapan dan pemahaman yang sedang terjadi dalam warna biru dan putih cerah.
Ayat yang sangat menggugah dari Kisah Para Rasul pasal 8, khususnya ayat 31, membawa kita pada momen krusial dalam perjalanan penginjilan awal. Peristiwa ini melibatkan Filipus, salah seorang dari tujuh diaken yang dipilih oleh jemaat Yerusalem, dan seorang sida-sida dari Etiopia yang sedang dalam perjalanan pulang setelah beribadah di Yerusalem. Sida-sida ini, yang dipercayakan mengurus seluruh harta benda Ratu Kandake, sedang membaca Kitab Yesaya ketika Filipus diutus oleh Roh Kudus untuk mendekatinya.
Pembicaraan mereka dimulai dari Kitab Yesaya. Sida-sida itu membaca bagian tentang "Dia dibawa seperti domba ke pembantaian..." (Yesaya 53:7). Pertanyaannya yang sederhana namun mendalam kepada Filipus adalah inti dari ayat tersebut: "Bagaimanakah aku dapat mengerti, kalau tidak ada yang membimbing aku?" Pertanyaan ini bukan sekadar tanda ketidaktahuan, melainkan sebuah kerinduan yang tulus untuk memahami firman Tuhan.
Konteks ini menunjukkan betapa pentingnya bimbingan rohani dalam memahami kebenaran ilahi. Kitab Suci, meskipun merupakan wahyu Allah, seringkali membutuhkan penafsiran yang dibimbing oleh Roh Kudus dan oleh orang-orang yang telah lebih dulu diajar. Sida-sida ini, meskipun memiliki kedudukan tinggi dan berusaha mencari Tuhan, menyadari keterbatasannya dalam memahami nubuat-nubuat yang kompleks. Ia tidak malu untuk mengakui bahwa ia membutuhkan seseorang untuk menjelaskan kepadanya.
Tindakan Filipus yang segera naik dan duduk bersama-sama dengan sida-sida itu adalah sebuah teladan pelayanan yang penuh kasih dan kerendahan hati. Filipus tidak memandang status atau latar belakang sida-sida itu, tetapi melihat sebuah jiwa yang lapar akan kebenaran. Ia memanfaatkan kesempatan yang diberikan Roh Kudus untuk menjadi alat-Nya, menjelaskan makna Kitab Yesaya yang merujuk kepada Yesus Kristus.
Cerita ini mengajarkan kita beberapa hal penting. Pertama, pentingnya ketekunan dalam mencari Tuhan, bahkan di tengah perjalanan yang jauh atau kesibukan duniawi. Sida-sida ini rela menempuh perjalanan jauh ke Yerusalem untuk beribadah. Kedua, pentingnya kesediaan untuk meminta bantuan dan bimbingan ketika kita tidak mengerti. Ketiga, pentingnya orang percaya yang siap melayani, menjelaskan firman Tuhan dengan sabar dan penuh hikmat, tanpa menghakimi.
Melalui percakapan yang diawali dengan pertanyaan "Bagaimanakah aku dapat mengerti, kalau tidak ada yang membimbing aku?", sida-sida Etiopia itu akhirnya menerima Kristus sebagai Juruselamatnya. Ia kemudian dibaptis oleh Filipus, menjadi salah satu buah pertama dari penginjilan di luar kalangan Yahudi. Momen ini menunjukkan bahwa pemahaman yang benar tentang Kristus membuka pintu bagi keselamatan dan perubahan hidup yang radikal. Kisah ini terus menjadi pengingat bahwa kita semua membutuhkan bimbingan dalam perjalanan iman kita, dan bahwa setiap orang berhak mendengar kabar baik tentang Yesus, apa pun latar belakangnya.