Lukas 20:11: Perumpamaan Tuan Kebun Anggur

"Lalu ia mengirim seorang hamba kepada orang-orang itu, supaya mereka menyerahkan sebagian dari hasil kebun itu kepadanya. Tetapi orang-orang itu menganiaya dia dan menyuruh dia pergi dengan tangan hampa."

Simbol Peringatan atau Pesan

Ayat Lukas 20:11 merupakan bagian dari sebuah perumpamaan yang diceritakan oleh Yesus Kristus, yang dikenal sebagai perumpamaan tentang tuan kebun anggur dan para penggarapnya. Perumpamaan ini memiliki kedalaman teologis yang signifikan dan sering diinterpretasikan sebagai alegori mengenai hubungan Allah dengan umat-Nya, serta penolakan mereka terhadap utusan-utusan Allah. Ayat spesifik ini menyoroti tindakan kekerasan dan penolakan yang diterima oleh hamba pertama yang diutus oleh sang tuan.

Dalam konteks perumpamaan, tuan kebun anggur melambangkan Allah Bapa, sementara kebun anggur itu sendiri mewakili Israel, umat pilihan-Nya. Ketika musim panen tiba, tuan tersebut berhak mendapatkan bagian dari hasil kebunnya. Untuk menagih haknya, ia mengutus seorang hamba. Hamba ini dalam banyak tafsiran dianggap mewakili para nabi-nabi yang diutus oleh Allah sepanjang sejarah untuk membimbing dan menegur umat-Nya. Namun, reaksi para penggarap, yang mewakili para pemimpin agama dan umat Israel pada masa itu, sangatlah brutal. Mereka tidak hanya menolak untuk memberikan hasil panen, tetapi juga melakukan penganiayaan terhadap hamba tersebut dan menyuruhnya pergi dengan tangan hampa.

Tindakan penganiayaan ini mencerminkan sejarah panjang penolakan dan kekerasan yang dialami oleh para nabi yang diutus oleh Allah. Berulang kali, para nabi menghadapi perlawanan, penolakan, dan bahkan pembunuhan dari orang-orang yang seharusnya mendengarkan pesan Allah. Perumpamaan ini dengan gamblang menggambarkan ketidaktaatan dan keras kepala umat manusia yang sering kali menolak otoritas ilahi dan pesan-pesan kebenaran.

Inti dari ayat ini, dan perumpamaan secara keseluruhan, adalah tentang penolakan terhadap utusan yang dikirimkan. Ini bukan hanya masalah ketidakmauan untuk berbagi hasil, tetapi penolakan terhadap hak sang tuan untuk menerima bagiannya. Ketika tuan itu kemudian mengirim hamba lain, dan bahkan anaknya sendiri, perumpamaan ini menunjukkan eskalasi penolakan dan kekerasan yang berujung pada pembunuhan ahli waris. Hal ini sering dikaitkan dengan penolakan terhadap Yesus Kristus sendiri, yang oleh para pemimpin Yahudi pada masa itu dianggap sebagai ancaman terhadap otoritas mereka, meskipun Dia adalah Anak Allah.

Dampak dari ayat Lukas 20:11 tidak hanya terbatas pada konteks historisnya. Ia memberikan pelajaran penting bagi setiap generasi tentang bahaya menolak kebenaran dan otoritas ilahi. Sikap menganiaya dan menolak utusan Allah mengajarkan kita untuk membuka hati dan pikiran terhadap pesan-pesan yang datang dari sumber yang lebih tinggi, bahkan ketika pesan tersebut mungkin sulit atau menantang. Perumpamaan ini menjadi pengingat yang kuat akan pentingnya kesetiaan, ketaatan, dan penerimaan terhadap kehendak Tuhan serta utusan-utusan-Nya. Ketidakpedulian terhadap hak orang lain, apalagi hak ilahi, akan selalu mendatangkan konsekuensi yang serius.

Dengan demikian, Lukas 20:11 mengajak kita untuk merenungkan bagaimana kita merespons pesan-pesan kebenaran dan peringatan dalam hidup kita. Apakah kita seperti para penggarap yang keras hati, ataukah kita belajar dari kesalahan mereka dan membuka diri terhadap kehendak Allah?