Lukas 20:29 - Jawaban Yesus Tentang Pernikahan Kekal

"Ada tujuh bersaudara. Yang sulung kawin seorang perempuan, tetapi ia mati tanpa anak. Lalu yang kedua, dan yang ketiga, mengambil dia menjadi istri, dan demikian juga yang ketujuh. Semuanya mati tanpa anak. Terakhir, perempuan itupun mati. Kalau begitu, pada waktu kebangkitan, siapakah di antara mereka yang akan menjadi suami perempuan itu? Sebab ketujuh orang itu pernah beristrikan dia."
Ilustrasi sederhana tentang hubungan dan kehidupan kekal

Ayat Lukas 20:29, bersama dengan konteksnya dalam Injil Lukas pasal 20, menyajikan sebuah pertanyaan yang diajukan oleh kaum Saduki kepada Yesus. Kaum Saduki adalah kelompok yang secara teologis menolak beberapa ajaran penting Yudaisme, termasuk kebangkitan orang mati. Dengan pertanyaan mengenai pernikahan ini, mereka berusaha menjebak Yesus, mengharapkan-Nya memberikan jawaban yang akan bertentangan dengan ajaran mereka atau tampak tidak masuk akal.

Pertanyaan yang mereka ajukan bersifat hipotetis dan didasarkan pada hukum Musa mengenai pernikahan Levirat (Ulangan 25:5-10). Hukum ini menyatakan bahwa jika seorang pria meninggal tanpa memiliki keturunan, saudaranya wajib menikahi janda tersebut untuk meneruskan keturunan bagi almarhum. Kaum Saduki kemudian membuat skenario yang ekstrem: tujuh bersaudara yang semuanya menikahi seorang wanita yang sama secara berurutan, namun semuanya meninggal tanpa anak. Inti dari pertanyaan mereka adalah: "Jika ada kebangkitan, siapakah dari ketujuh saudara itu yang akan menjadi suami wanita tersebut?" Mereka percaya bahwa skenario ini akan menunjukkan ketidakmungkinan atau kekacauan dalam konsep kebangkitan.

Jawaban Yesus, yang terdapat dalam ayat-ayat berikutnya (Lukas 20:34-36), sangatlah mendalam dan menggugah. Yesus tidak hanya menjawab pertanyaan mereka secara langsung, tetapi juga mengungkapkan realitas kehidupan kekal yang berbeda dari kehidupan di bumi. Ia menjelaskan bahwa orang-orang yang dianggap layak untuk menerima bagian dalam dunia yang akan datang dan kebangkitan dari antara orang mati, tidak akan kawin atau dikawinkan. Konsep pernikahan dan struktur keluarga seperti yang kita kenal di dunia ini bersifat sementara, berlaku untuk kehidupan fana.

Dalam kehidupan kekal, status kita akan berubah. Kita akan menjadi seperti malaikat, yang tidak memiliki kebutuhan atau struktur sosial yang sama dengan manusia di bumi. Fokus utama dalam keabadian adalah hubungan kita dengan Allah. Pernikahan, sebagaimana kita pahami, adalah institusi yang diciptakan untuk keberlangsungan umat manusia di dunia ini, untuk memiliki keturunan dan membentuk keluarga yang akan melanjutkan generasi. Namun, di hadirat Allah yang kekal, tujuan tersebut tidak lagi relevan.

Yesus menegaskan bahwa kebangkitan bukanlah sekadar pengulangan kehidupan di dunia ini dengan segala problemanya, melainkan sebuah transisi menuju keberadaan yang baru dan lebih mulia. Pertanyaan kaum Saduki, yang bermaksud meragukan kebangkitan, justru menjadi kesempatan bagi Yesus untuk mengajarkan kebenaran tentang sifat kekal yang akan datang. Pemahaman ini mengundang kita untuk merenungkan prioritas hidup kita. Apakah kita terlalu terikat pada hal-hal duniawi yang bersifat sementara, ataukah kita mempersiapkan diri untuk kehidupan kekal yang telah dijanjikan oleh Yesus?

Dengan demikian, Lukas 20:29 menjadi titik tolak untuk memahami bagaimana Yesus menghadirkan visi yang berbeda tentang masa depan. Ia mengajarkan bahwa di surga, hubungan kita dengan Allah dan sesama akan terjalin dalam dimensi yang murni dan kekal, melampaui batasan-batasan duniawi yang kita kenal sekarang. Ini adalah janji pengharapan yang menenteramkan hati, memberikan perspektif yang lebih luas bagi kehidupan kita saat ini.