Lukas 20:5 - Pertanyaan yang Menguji Iman

"Jawab mereka kepada Yesus: ‘Kami tidak tahu.’"
? Pertanyaan Tanda Tanya

Ilustrasi sederhana: dua tanda tanya diapit oleh sebuah lingkaran yang memancarkan cahaya, melambangkan pertanyaan yang belum terjawab.

Dalam Injil Lukas pasal 20, kita menemukan sebuah adegan yang penuh dengan ketegangan dan pertanyaan mendalam. Yesus tengah mengajar di Bait Allah, dan para pemimpin agama, termasuk para imam kepala dan ahli Taurat, datang kepada-Nya dengan maksud untuk menjebak-Nya. Mereka ingin mencari alasan untuk menuduh-Nya agar bisa menyerahkan-Nya kepada pemerintah Romawi.

Di tengah situasi yang sarat dengan intrik politik dan teologis ini, Yesus mengajukan sebuah pertanyaan kepada mereka mengenai Yesus sebagai Anak Daud. Para pemimpin ini, yang biasanya berpegang teguh pada hukum dan tradisi, justru terdiam. Mereka tidak mampu menjawab pertanyaan Yesus yang sederhana namun sangat menohok.

Kemudian, Yesus sendiri mengajukan sebuah pertanyaan kepada mereka yang tertera dalam Lukas 20:5: "Dari manakah datangnya hak-Nya yang demikian? Siapakah yang memberi-Nya wewenang ini?" Pertanyaan ini diarahkan kepada otoritas yang mereka miliki, otoritas yang mereka klaim berasal dari Allah dan hukum Taurat. Namun, Yesus mempertanyakan dasar dari wewenang-Nya sendiri, yang justru mereka tidak sanggup memberikan jawaban yang meyakinkan.

Jawaban yang diberikan oleh para pemimpin agama itu adalah, "Kami tidak tahu." Pengakuan ketidaktahuan ini bukanlah sekadar sebuah kejujuran intelektual, melainkan sebuah pengakuan atas ketidakmampuan mereka untuk memahami atau menerima otoritas Yesus. Mereka terpaku pada pemahaman mereka yang sempit tentang Mesias, yaitu seorang raja politik yang akan membebaskan Israel dari penjajahan Romawi. Mereka gagal mengenali Yesus sebagai Sang Mesias yang dijanjikan, yang datang dengan wewenang ilahi yang melampaui pemahaman duniawi mereka.

Ayat Lukas 20:5 menjadi sebuah momen krusial yang mengungkap kelemahan dan ketidakmampuan para pemimpin agama pada masa itu. Di satu sisi, mereka berusaha keras untuk menguji Yesus dan mencari kesalahan-Nya. Namun, di sisi lain, ketika dihadapkan pada pertanyaan yang menuntut pemahaman spiritual yang mendalam, mereka justru menunjukkan kekosongan pengetahuan dan kebingungan. Pengakuan "kami tidak tahu" adalah pengakuan atas keterbatasan mereka dalam melihat kebenaran yang hadir di hadapan mereka.

Dari ayat ini, kita belajar tentang pentingnya keterbukaan hati dan pikiran dalam menerima kebenaran. Seringkali, prasangka dan pemahaman yang kaku dapat menghalangi kita untuk melihat karya dan otoritas Allah yang bekerja di sekitar kita. Pertanyaan Yesus menantang kita untuk memeriksa dasar dari keyakinan kita dan apakah kita benar-benar mengenali wewenang-Nya dalam hidup kita. Pengakuan "kami tidak tahu" seharusnya mendorong kita untuk mencari jawaban dengan kerendahan hati, bukan dengan arogansi atau ketakutan.

Kisah ini juga menunjukkan bahwa otoritas sejati tidak selalu datang dari jabatan atau pengakuan manusia, tetapi dari sumber ilahi yang tak terbantahkan. Ketika kita bersaksi tentang iman, kita dipanggil untuk memiliki dasar yang kokoh, bukan hanya perkataan yang manis atau argumen yang meyakinkan secara retoris, tetapi kesaksian yang bersumber dari pengenalan akan Yesus Kristus, Sang Pemberi Wewenang tertinggi. Jawaban "kami tidak tahu" seharusnya menjadi pengingat bagi kita untuk senantiasa belajar dan bertumbuh dalam pengenalan akan Tuhan, agar kita tidak menjadi seperti mereka yang kehilangan kesempatan emas karena ketidakmampuan untuk menjawab pertanyaan iman yang terpenting.