"Maka Yesus mengetahui pikiran hati mereka, lalu mengambil seorang anak kecil dan menempatkannya di samping-Nya."
Kisah yang tercatat dalam Injil Lukas pasal 9, ayat 47, menyajikan sebuah momen yang sarat makna dalam ajaran Yesus Kristus. Ayat ini menggambarkan bagaimana Yesus, yang Mahatahu akan pikiran dan perasaan manusia, mengambil inisiatif untuk mengajarkan sebuah pelajaran fundamental mengenai kerendahan hati dan bagaimana menerima kebesaran sejati dalam Kerajaan Allah. Konteks sebelum ayat ini adalah perselisihan di antara para murid mengenai siapa yang terbesar di antara mereka. Perdebatan yang menunjukkan ambisi dan keangkuhan yang masih mengakar dalam hati mereka, meskipun mereka telah mengikuti Yesus.
Reaksi Yesus terhadap perselisihan ini tidaklah murka atau menghakimi. Sebaliknya, Ia memilih cara yang penuh kasih dan mendidik. Ia melihat inti permasalahan mereka, yaitu kesalahpahaman tentang sifat kepemimpinan dan kebesaran dalam Kerajaan-Nya. Di mata dunia, kebesaran seringkali diukur dari kekuasaan, status, dan dominasi. Namun, Yesus datang untuk membalikkan paradigma tersebut. Ia mendefinisikan kebesaran dengan standar yang berbeda, standar yang seringkali diabaikan oleh dunia: kerendahan hati, pelayanan, dan kasih.
Tindakan mengambil seorang anak kecil dan menempatkannya di samping-Nya bukanlah sekadar gestur simbolis. Anak kecil dalam konteks budaya saat itu seringkali dipandang sebagai individu yang tidak berdaya, tidak memiliki status, dan bergantung sepenuhnya pada orang lain. Mereka melambangkan kepolosan, ketidakberdayaan, dan ketergantungan yang tulus. Dengan menjadikan anak kecil sebagai "guru" dadakan, Yesus mengarahkan pandangan para murid dari ambisi mereka yang tinggi kepada esensi Kerajaan Allah. Ia menunjukkan bahwa untuk memasuki dan menjadi besar dalam Kerajaan-Nya, seseorang harus memiliki hati yang seperti anak kecil: mau belajar, tidak merasa paling tahu, tidak membandingkan diri dengan orang lain, dan berserah sepenuhnya kepada Allah.
Ajaran ini memiliki relevansi yang sangat kuat bagi kehidupan kita saat ini. Dalam dunia yang serba kompetitif, seringkali kita terpanggil untuk menunjukkan keunggulan diri, meraih kesuksesan materi, dan membangun citra diri yang kuat. Namun, Lukas 9:47 mengingatkan kita bahwa kebesaran yang sejati bukanlah tentang mendominasi, tetapi tentang melayani. Ini adalah tentang melepaskan kebanggaan diri yang berlebihan dan membuka diri terhadap pembelajaran serta pertumbuhan rohani. Kerendahan hati memungkinkan kita untuk melihat kebutuhan orang lain, untuk rela berkorban demi kebaikan bersama, dan untuk mengakui ketergantungan kita pada Tuhan.
Ketika kita belajar untuk bersikap rendah hati seperti anak kecil, kita membuka diri terhadap anugerah dan kuasa Allah. Kita menjadi lebih peka terhadap suara-Nya dan lebih mampu menjalankan kehendak-Nya. Kebesaran dalam pandangan Kristus bukanlah tentang seberapa tinggi kita dapat mengangkat diri sendiri, tetapi seberapa dalam kita dapat merendahkan diri demi melayani sesama dan memuliakan Tuhan. Oleh karena itu, marilah kita renungkan ajaran ini dan berusaha untuk mengadopsi sikap hati yang seperti anak kecil, agar kita dapat benar-benar mengalami kebesaran sejati dalam Kerajaan Allah yang kekal.