Kitab Maleakhi, yang berarti "Utusan-Ku", merupakan peringatan terakhir dari Allah kepada umat-Nya di Perjanjian Lama sebelum periode keheningan ilahi yang panjang. Melalui nabi Maleakhi, Tuhan menyampaikan pesan yang kuat dan mendalam, mengingatkan umat-Nya tentang pentingnya integritas dalam ibadah dan hubungan mereka dengan Sang Pencipta. Ayat kunci dalam Maleakhi 1:10 menjadi sorotan yang tajam atas kemerosotan spiritual yang terjadi di kalangan para imam dan umat pada masa itu.
Firman Tuhan dalam Maleakhi 1:10 secara tegas menyatakan, "Siapakah di antara kamu yang mau menutup pintu gerbang, supaya jangan kamu menyalakan api di mezbah-Ku dengan percuma? Aku tidak berkenan kepada kamu, firman TUHAN semesta alam, dan korbanmu tidak akan Kuterima dari tanganmu." Pernyataan ini bukanlah teguran ringan, melainkan sebuah penolakan ilahi terhadap praktik ibadah yang telah menjadi asal-usul kemunafikan dan ketidakpedulian. Tuhan mengungkapkan kekecewaan-Nya karena para imam tidak lagi menghormati mezbah-Nya dengan tulus. Api yang dinyalakan di mezbah seharusnya menjadi simbol doa yang naik kepada Tuhan dan pengorbanan yang dipersembahkan dengan hati yang benar. Namun, dalam konteks ini, api tersebut dinyalakan "dengan percuma" – tanpa kesungguhan, tanpa nilai, dan tanpa menghasilkan buah yang berkenan.
Tuhan tidak berkenan kepada mereka. Ini adalah ungkapan penolakan yang sangat serius. Bukan hanya tindakan ibadah yang ditolak, tetapi diri mereka secara keseluruhan dalam konteks persembahan tersebut. Implikasinya adalah bahwa iman yang terpisah dari tindakan kasih dan integritas adalah iman yang mati dan tidak berharga di mata Tuhan. Para imam dan umat telah terbiasa mempersembahkan "korban yang tidak layak"—hewan yang cacat, sakit, atau yang terburuk dari ternak mereka. Mereka memberikan sisa-sisa, bukan yang terbaik. Ini adalah bentuk penghinaan terhadap kekudusan Tuhan dan kasih karunia-Nya yang telah mereka terima.
Perintah untuk "menutup pintu gerbang" menyiratkan bahwa seharusnya ada kesadaran dan tindakan untuk menghentikan praktik yang salah ini. Namun, tidak ada yang mengambil inisiatif tersebut. Keengganan untuk bertindak menunjukkan bahwa mereka telah menjadi apatis terhadap perintah Tuhan dan lebih mementingkan kenyamanan atau tradisi yang telah mengakar daripada kebenaran ilahi. Hal ini mengajarkan kita bahwa ketulusan dalam ibadah bukanlah sekadar ritual yang dilakukan, tetapi sebuah sikap hati yang berserah sepenuhnya kepada Tuhan. Ketika kita mempersembahkan hidup kita, waktu kita, talenta kita, dan sumber daya kita kepada Tuhan, kita harus melakukannya dengan prinsip "yang terbaik untuk Tuhan", bukan sekadar "apa yang tersisa".
Maleakhi 1:10 mengingatkan kita bahwa Tuhan melihat jauh ke dalam hati. Ibadah yang sejati memancar dari hubungan yang intim dan jujur dengan-Nya, di mana kita mempersembahkan diri kita sebagai korban yang hidup, kudus, dan berkenan kepada-Nya (Roma 12:1). Tanpa hati yang benar dan niat yang tulus, segala usaha ibadah kita hanyalah menyalakan api dengan percuma, yang pada akhirnya tidak akan pernah diterima oleh Tuhan. Mari kita introspeksi diri, memastikan bahwa setiap aspek ibadah dan pelayanan kita dilakukan dengan penuh hormat, cinta, dan kesungguhan, hanya bagi kemuliaan nama-Nya.