"Ketika orang-orang itu datang kemudian, mereka masing-masing menerima satu dinar."
Perikop Matius 20:1-16, yang dikenal sebagai perumpamaan tentang pekerja di kebun anggur, seringkali memicu pertanyaan dan diskusi tentang keadilan, upah, dan kasih karunia. Ayat 10, "Ketika orang-orang itu datang kemudian, mereka masing-masing menerima satu dinar," menjadi titik fokus dalam pemahaman kita tentang bagaimana Tuhan bekerja. Perumpamaan ini menceritakan tentang seorang pemilik kebun anggur yang memanggil pekerja pada berbagai jam sepanjang hari. Yang menarik adalah, semua pekerja, baik yang mulai bekerja sejak pagi buta maupun yang baru dipekerjakan menjelang sore, menerima upah yang sama: satu dinar.
Reaksi pertama dari banyak pembaca mungkin adalah rasa tidak adil. Bukankah mereka yang bekerja lebih lama seharusnya mendapatkan lebih banyak? Inilah titik di mana kita perlu menggeser perspektif kita dari logika manusia yang terfokus pada jam kerja dan kontribusi, kepada logika ilahi yang berpusat pada kemurahan hati dan anugerah. Pemilik kebun anggur dalam perumpamaan ini tidak hanya bertindak sebagai majikan, tetapi juga sebagai simbol Tuhan sendiri. Upah yang diberikan bukan semata-mata berdasarkan keringat dan waktu yang dihabiskan, tetapi sebagai ekspresi dari kebaikan hati sang pemilik.
Ketika para pekerja yang datang lebih awal menggerutu kepada pemilik kebun anggur, mengatakan, "Orang-orang yang terakhir itu telah bekerja hanya satu jam, tetapi Engkau menyamakan mereka dengan kami yang bekerja berat sepanjang hari dan menanggung panas terik," jawaban pemiliknya sangatlah penting. Pemilik itu berkata, "Sobat, aku tidak berbuat yang tidak adil terhadapmu. Bukankah engkau telah sepakat dengan aku untuk satu dinar?" (Matius 20:12-13). Ini menunjukkan bahwa perjanjian awal terpenuhi bagi semua orang. Keadilan di sini bukanlah sekadar kesetaraan matematis, melainkan pemenuhan janji dan kesepakatan.
Namun, inti dari perumpamaan ini terletak pada kelanjutannya: "Atau tidak bolehkah aku melakukan apa yang dikehendaki dengan uangku? Atau engkaukah yang jahat karena aku murah hati?" (Matius 20:15). Pertanyaan retoris ini menegaskan bahwa sang pemilik memiliki hak untuk bermurah hati. Ia tidak mengurangi hak para pekerja awal; ia justru menambahkan kemurahan hati kepada mereka yang datang terlambat. Ini mencerminkan cara kerja Tuhan dalam memberikan keselamatan dan berkat. Anugerah-Nya tidak selalu mengikuti logika "kerja keras sama dengan imbalan besar." Sebaliknya, anugerah-Nya seringkali diberikan secara bebas kepada siapa saja yang percaya, terlepas dari seberapa banyak "usaha" yang mereka rasakan telah mereka lakukan.
Matius 20:10 mengingatkan kita bahwa Tuhan tidak mengukur nilai seseorang berdasarkan seberapa lama ia melayani atau seberapa banyak ia menderita. Ia mengukur berdasarkan kesediaan hati untuk tunduk pada panggilan-Nya dan menerima tawaran kasih karunia-Nya. Kemurahan hati Tuhan bisa jadi terasa "tidak adil" bagi pemikiran yang hanya berfokus pada hasil, namun bagi hati yang terbuka, kemurahan hati itu adalah sumber sukacita dan harapan yang tak terhingga. Kita dipanggil untuk bersukacita ketika orang lain menerima berkat yang sama atau bahkan lebih, karena anugerah Tuhan tidak terbatas dan dapat mencukupi semua orang. Ini adalah pelajaran berharga tentang pentingnya kerendahan hati dan rasa syukur dalam iman kita.