Ayat Matius 8:34 menceritakan momen ketika penduduk Gerasa, setelah menyaksikan Yesus mengusir sejumlah besar roh-roh jahat dari dua orang menjadi ke dalam kawanan babi yang kemudian menceburkan diri ke danau, meminta Yesus untuk meninggalkan daerah mereka. Kejadian ini terjadi setelah Yesus dengan kuasa-Nya menenangkan badai dahsyat di Laut Galilea, sebuah peristiwa yang menunjukkan kendali-Nya atas alam semesta.
Perbandingan antara mukjizat penenangan badai dan reaksi penduduk Gerasa sangatlah mencolok. Ketika Yesus menunjukkan kekuasaan-Nya atas alam, para murid-Nya dipenuhi kekaguman dan rasa takut yang hormat. Mereka bertanya, "Siapakah gerangan orang ini, sehingga angin dan laut pun taat kepada-Nya?" Di sisi lain, penduduk Gerasa, meskipun menyaksikan demonstrasi kekuasaan ilahi yang luar biasa, malah diliputi ketakutan yang menyebabkan mereka menolak kehadiran Yesus. Ketakutan mereka bukanlah ketakutan yang mengarah pada penyesalan dan perubahan hati, melainkan ketakutan yang mendorong mereka untuk menjauh dari sumber kuasa tersebut.
Matius 8:34 menyoroti bahwa pemahaman dan respons terhadap kehadiran serta kuasa ilahi bisa sangat bervariasi. Para murid melihat kuasa Yesus sebagai sesuatu yang dapat dipercaya dan menakjubkan, yang menumbuhkan iman mereka. Sebaliknya, penduduk Gerasa melihatnya sebagai ancaman terhadap kenyamanan dan cara hidup mereka. Kehilangan kawanan babi, yang merupakan sumber pendapatan dan kekayaan mereka, membuat mereka lebih peduli pada kerugian materi daripada kesempatan untuk kelepasan rohani yang ditawarkan Yesus. Mereka memilih untuk mempertahankan apa yang mereka pahami dan kuasai, meskipun itu berarti mengusir Sang Penyelamat.
Ayat ini mengingatkan kita bahwa kehadiran kebenaran dan kuasa ilahi tidak selalu disambut dengan sukacita. Seringkali, kebenaran itu sendiri dapat membawa kegelisahan bagi mereka yang hidup dalam ketidakbenaran atau yang terlalu terikat pada duniawi. Ketakutan yang diungkapkan oleh penduduk Gerasa adalah ketakutan akan perubahan, ketakutan akan kehilangan kendali, dan ketakutan akan kebenaran yang menghakimi cara hidup mereka. Ini adalah cerminan dari penolakan manusia terhadap campur tangan ilahi ketika hal itu mengganggu status quo.
Dari Matius 8:34, kita dapat belajar beberapa hal penting. Pertama, kehadiran Yesus selalu membawa pilihan: apakah kita akan merespons dengan iman dan kerendahan hati, atau dengan ketakutan dan penolakan. Kedua, materi dan keuntungan duniawi seringkali bisa menjadi penghalang besar bagi penerimaan akan kebenaran rohani. Ketakutan untuk kehilangan apa yang dimiliki bisa lebih kuat daripada kerinduan untuk mendapatkan apa yang jauh lebih berharga.
Kisah ini juga menggarisbawahi sifat manusia yang cenderung menghindari hal-hal yang membuat tidak nyaman, bahkan jika hal itu adalah kebaikan itu sendiri. Alih-alih menghadapi kebenaran yang diungkapkan oleh Yesus, mereka memilih untuk mengusirnya agar kedamaian semu mereka tidak terganggu. Ini adalah peringatan bagi kita untuk terus menerus memeriksa hati kita: apakah kita membuka diri terhadap pesan-pesan ilahi, ataukah kita, seperti penduduk Gerasa, mencari cara untuk membuat kehadiran kebenaran itu menjauh agar kita bisa tetap berada dalam zona nyaman kita.