Dalam perjalanan hidup, kita seringkali dihadapkan pada situasi yang menguji iman dan kesabaran. Terkadang, kata-kata yang keluar dari bibir orang lain begitu tajam, menusuk, dan penuh dengan ketidakadilan. Perasaan terasing, difitnah, atau disakiti oleh ucapan yang tak pantas adalah pengalaman yang sangat berat. Dalam situasi seperti inilah, kita menemukan pelipur lara dan kekuatan dalam firman Tuhan, khususnya dalam Mazmur 120:3.
Ayat ini, meskipun singkat, mengandung makna yang mendalam. Pemazmur berseru kepada Tuhan di tengah kepungan kesulitan yang disebabkan oleh perkataan jahat. Ia menggambarkan dirinya dikelilingi oleh "lidah yang bercabang," sebuah metafora untuk kebohongan, fitnah, dan ucapan yang bertujuan untuk mencelakai. Situasi ini pasti sangat menyakitkan dan membuat seseorang merasa terisolasi, bahkan dari lingkungan terdekat.
Mazmur 120 secara keseluruhan menggambarkan kerinduan sang pemazmur untuk kedamaian. Ia berada di tengah-tengah orang yang justru menjadi musuh perdamaian. Ucapannya adalah perang, dan setiap perkataan yang dilontarkan bagaikan senjata yang siap menghancurkan. Dalam kegelapan ini, Mazmur 120:3 menjadi sebuah pertanyaan retoris yang menggugah: "Lidahmu yang bercabang, hai anak manusia, akan bagaimana ia membalasnya kepadamu, dan apa yang akan ditambahkan padanya?" Pertanyaan ini menyiratkan bahwa perbuatan jahat, terutama yang bersumber dari perkataan kasar dan menipu, pada akhirnya akan membawa konsekuensi buruk bagi pelakunya sendiri. Tuhan melihat segala sesuatu, dan keadilan-Nya pasti akan berlaku.
Bagi kita yang membaca dan merenungkan ayat ini, ada beberapa pelajaran penting. Pertama, ayat ini mengingatkan kita akan pentingnya menjaga perkataan kita. Sama seperti lidah yang bercabang bisa menyakiti orang lain, perkataan kita juga memiliki kekuatan untuk membangun atau menghancurkan. Hendaknya kita menggunakan lidah kita untuk kebaikan, untuk menyatakan kebenaran, dan untuk menghibur sesama. Kedua, ayat ini memberikan pengharapan bagi mereka yang sedang diperlakukan tidak adil. Di saat kita merasa tak berdaya menghadapi ucapan jahat, kita diingatkan bahwa Tuhan adalah hakim yang adil. Ia akan membalas perbuatan tersebut, bukan dengan cara yang sama, tetapi dengan keadilan-Nya yang sempurna. Doa dalam situasi seperti ini menjadi sumber kekuatan dan keyakinan bahwa kita tidak sendirian.
Terlebih lagi, ayat ini mengajarkan tentang pentingnya mencari perlindungan dan kelepasan dari Tuhan. Pemazmur dalam Mazmur 120:1-2 berseru, "Dalam kesesakan aku berseru kepada TUHAN, dan Ia menjawab aku. Ya TUHAN, luputkanlah aku dari bibir jahat, dari lidah penipu!" Ini adalah inti dari penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Ketika dunia di sekitar kita dipenuhi dengan kata-kata yang menyakitkan, satu-satunya tempat kita bisa menemukan kedamaian sejati dan kekuatan untuk bertahan adalah di dalam hadirat Tuhan. Ia adalah benteng kita, dan Ia akan membela mereka yang percaya kepada-Nya.
Jadi, ketika kita membaca Mazmur 120:3, mari kita ambil pelajaran untuk senantiasa berbicara dengan bijak, memaafkan mereka yang melukai kita, dan menyerahkan segala perkara kepada Tuhan. Percayalah, keadilan-Nya akan terwujud, dan kedamaian yang Ia berikan akan melampaui segala pemahaman. Di tengah badai perkataan, mari kita berpegang teguh pada janji-Nya.