Mazmur 120 merupakan sebuah ratapan yang mendalam, sebuah seruan dari hati yang tertekan. Penulis mazmur, dalam kesulitannya, mengungkapkan perasaan terisolasi dan ketidaknyamanan yang luar biasa. Ayat kelima, "Celakalah aku, karena aku tinggal di Mesa, seperti aku berdiam di tenda-tenda Kidar!", menggambarkan tingkat kepedihan yang dialami ketika seseorang merasa terjebak dalam lingkungan yang penuh permusuhan dan ketidakramahan.
Istilah "Mesa" dan "Kidar" dalam konteks ini merujuk pada tempat-tempat yang jauh dari tanah perjanjian, wilayah yang dihuni oleh bangsa-bangsa yang seringkali dianggap asing dan bahkan bermusuhan bagi umat Israel. Tinggal di sana bukanlah sebuah pilihan yang menyenangkan, melainkan sebuah keadaan yang terpaksa, yang membawa duka dan penderitaan. Penulis mazmur merasa seolah-olah ia ditempatkan di tengah-tengah orang-orang yang tidak ia kenal, yang berbicara bahasa yang berbeda, dan yang memiliki cara hidup yang bertentangan dengan nilai-nilainya.
Perasaan ini sangat relevan dalam kehidupan kita saat ini. Kita mungkin tidak secara harfiah tinggal di Mesa atau Kidar, tetapi banyak dari kita pernah mengalami atau sedang mengalami situasi di mana kita merasa terasing, tidak dihargai, atau bahkan diserang secara verbal maupun emosional oleh lingkungan sekitar. Ini bisa terjadi di tempat kerja, di sekolah, dalam pergaulan sosial, atau bahkan di dalam keluarga. Lingkungan yang penuh dengan gosip, perselisihan, ketidakjujuran, atau kebencian dapat membuat seseorang merasa seperti "tinggal di tenda-tenda Kidar".
Mazmur 120:5 mengingatkan kita bahwa perasaan ini adalah sah. Mengakui kesedihan dan frustrasi karena terjebak dalam situasi yang tidak menyenangkan adalah langkah awal menuju pemulihan. Penulis mazmur tidak berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja; ia menyuarakan kepedihannya dengan jujur kepada Tuhan. Ini mengajarkan kita pentingnya membawa pergumulan kita kepada Tuhan dalam doa, bukan menyimpannya sendiri hingga membebani hati.
Namun, mazmur ini tidak berhenti pada keluhan. Mazmur 120 secara keseluruhan menunjukkan pergeseran dari keputusasaan menuju harapan. Penulis mazmur, meskipun merasa tertekan, tetap memfokuskan pandangannya pada Tuhan. Ia mencari perlindungan dan kelepasan dari kekacauan. Pesan yang bisa kita ambil adalah bahwa bahkan ketika kita dikelilingi oleh orang-orang yang tidak bersahabat, kita memiliki sumber kekuatan dan penghiburan yang tak terbatas dalam Tuhan.
Hidup di tengah ketidaknyamanan bukanlah akhir dari segalanya. Ini adalah kesempatan untuk memperdalam iman kita, untuk belajar bersabar, dan untuk mencari cara-cara yang bijaksana untuk berinteraksi dengan lingkungan yang sulit. Seperti penulis mazmur yang akhirnya mencari kedamaian dan mengandalkan Tuhan, kita pun dipanggil untuk tidak membiarkan keadaan eksternal merusak kedamaian batin kita. Fokus pada kebenaran, keadilan, dan kasih Tuhan dapat menjadi jangkar kita di tengah badai kehidupan, membantu kita menavigasi situasi yang paling sulit sekalipun.