Mazmur 58:5 - Kejahatan dan Kehancuran

"Seperti ular berbisa mereka, tuli tuli; mereka tidak mau mendengarkan suara ahli-ahli sihir, walau sangat mahir sekali."

Ayat Mazmur 58:5 ini menggambarkan dengan sangat gamblang dan kuat mengenai sifat kejahatan serta penolakan mereka terhadap kebenaran. Penggambaran ini bukan sekadar metafora puitis, melainkan sebuah ilustrasi tajam tentang bagaimana hati yang telah dikuasai oleh kejahatan menjadi tidak peka, menolak untuk mendengar nasihat, teguran, maupun peringatan. Kebutaan spiritual dan ketulian telinga rohani menjadi ciri khas utama mereka yang memilih jalan kegelapan.

Dalam konteks Mazmur 58, Daud sedang meratap dan berseru kepada Tuhan mengenai ketidakadilan dan kekejaman yang dilakukan oleh para penguasa dan orang-orang fasik. Mereka bersekongkol untuk melakukan kejahatan, dan tujuan mereka adalah menghancurkan orang-orang benar. Ayat ini menyoroti bagaimana para pelaku kejahatan ini bertindak layaknya ular berbisa yang licik dan mematikan. Ular berbisa memiliki kemampuan untuk menyerang secara diam-diam dan memberikan racun yang mematikan. Begitu pula dengan orang-orang fasik, mereka beroperasi dengan cara-cara yang licik dan membawa kehancuran bagi orang lain.

Perbandingan dengan ular yang tuli juga sangat signifikan. Ular, meskipun memiliki indra pendengaran, sering kali dianggap tidak merespons suara dalam cara yang sama seperti mamalia. Dalam ayat ini, "tuli tuli" menekankan ketidakmauan mereka untuk mendengarkan. Mereka tidak hanya tidak mampu mendengar, tetapi secara aktif memilih untuk tidak mendengarkan. Ajaran moral, peringatan ilahi, atau bahkan suara akal sehat tidak dapat menembus hati mereka yang telah mengeras. Mereka menutup telinga mereka terhadap kebenaran, sama seperti seorang ahli sihir yang memikat ular, namun ular itu tetap tuli dan tidak terpengaruh oleh mantra.

Hal ini menunjukkan bahwa kejahatan yang merajalela sering kali disertai dengan kesombongan dan penolakan terhadap otoritas yang lebih tinggi, termasuk otoritas Tuhan. Mereka merasa diri mereka kebal, kebal dari konsekuensi, dan kebal dari teguran moral. Keahlian mereka dalam melakukan kejahatan justru membuat mereka semakin terisolasi dari kebenaran. Sebagaimana ahli sihir yang paling lihai pun tidak bisa memikat ular yang secara alami tuli, demikian pula orang-orang fasik yang paling mahir dalam kejahatan tidak akan terpengaruh oleh nasihat atau peringatan dari sumber mana pun yang berusaha mengembalikan mereka ke jalan yang benar.

Ayat ini menjadi pengingat yang kuat bagi setiap individu. Kita diingatkan untuk terus memeriksa hati kita, memastikan bahwa telinga rohani kita terbuka lebar untuk mendengar suara Tuhan, firman-Nya, dan teguran dari sesama. Menjadi tuli terhadap kebenaran berarti membuka diri pada kehancuran, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang-orang di sekitar kita. Sebaliknya, kemauan untuk mendengarkan dan belajar adalah langkah awal menuju pemulihan dan kehidupan yang benar.

Simbol ini melambangkan kehati-hatian dan peringatan