"Dan mereka berkata: "Bagaimanakah Allah mengetahuinya, dan adakah Pengetahuan ada pada Yang Mahatinggi?"
Ayat ini, Mazmur 73:11, merupakan sebuah momen refleksi mendalam dalam kehidupan pemazmur, Asaf. Ia tengah bergulat dengan sebuah pertanyaan eksistensial yang seringkali menghantui benak manusia: mengapa orang fasik seolah menikmati keberuntungan duniawi, sementara orang benar seringkali menghadapi kesulitan? Pertanyaan ini bukan sekadar keraguan intelektual, melainkan sebuah pergumulan hati yang memicu kebingungan dan keputusasaan. Ketika Asaf melihat kesuksesan orang-orang yang hidupnya jauh dari prinsip-prinsip kebenaran ilahi, ia mulai mempertanyakan keadilan dan bahkan pengetahuan Tuhan sendiri.
Seruan "Bagaimanakah Allah mengetahuinya, dan adakah Pengetahuan ada pada Yang Mahatinggi?" mencerminkan titik terendah dalam iman Asaf. Ia melihat orang-orang jahat menikmati kekayaan, kekuasaan, dan kemakmuran yang luar biasa. Mereka tampaknya hidup tanpa konsekuensi, seolah-olah Tuhan tidak peduli atau bahkan tidak menyadari perbuatan mereka. Pemandangan ini kontras tajam dengan penderitaan dan kesulitan yang seringkali dialami oleh orang-orang yang berusaha hidup setia kepada Tuhan. Dalam pandangan yang terbatas, kemakmuran orang fasik terlihat sebagai bukti bahwa kebenaran dan keadilan ilahi tidak bekerja, atau bahkan tidak ada.
Namun, Mazmur 73 bukanlah kisah tentang kekalahan iman, melainkan tentang kemenangan iman yang akhirnya diraih setelah melalui badai keraguan. Asaf tidak berhenti pada pertanyaannya yang getir. Sebaliknya, ia membawa kebingungannya ke hadirat Tuhan. Titik balik terjadi ketika ia masuk ke dalam "tempat kudus Allah" (Mazmur 73:17). Di sanalah, ia mulai memahami tujuan akhir dari keberadaan orang fasik. Ia menyadari bahwa kemakmuran yang mereka nikmati bersifat sementara dan semu. Kehidupan mereka di dunia ini, meskipun tampak gemilang, pada akhirnya akan berakhir dalam kehancuran dan kebinasaan yang mengerikan.
Inti dari pengajaran Mazmur 73 adalah bahwa pandangan manusia yang terbatas seringkali gagal memahami rencana dan perspektif Tuhan yang tak terbatas. Keberhasilan yang terlihat di dunia ini bukanlah tolok ukur yang sesungguhnya. Kebahagiaan dan kepuasan sejati tidak dapat ditemukan dalam kekayaan materi atau kekuasaan duniawi, melainkan dalam hubungan yang mendalam dengan Tuhan. Ketika Asaf menyadari hal ini, keraguannya lenyap, digantikan oleh keyakinan yang teguh pada kebaikan dan kesetiaan Tuhan. Ia menyimpulkan, "Tetapi aku, dekat pada-Mu, itulah yang baik bagiku" (Mazmur 73:28).
Mazmur 73:11 mengajarkan kita untuk berhati-hati agar tidak membandingkan diri dengan orang-orang yang tampaknya berhasil secara duniawi, terutama jika kesuksesan mereka dicapai dengan cara yang tidak benar. Kita diingatkan bahwa Tuhan melihat segala sesuatu, dan ada pengadilan yang pasti. Fokus kita seharusnya tertuju pada pertumbuhan rohani dan kekayaan abadi yang hanya dapat ditemukan dalam kebenaran ilahi. Kebenaran bahwa Tuhan mengetahui segalanya memberikan penghiburan dan harapan, bahwa pada akhirnya, keadilan akan ditegakkan.