Mazmur 74:1

Ya Allah, mengapa? Mengapa? Engkau membuang kami untuk seterusnya? Mengapa murka-Mu membakar terhadap domba gembalaan-Mu?

Mazmur 74:1 adalah sebuah seruan yang mendalam, sebuah permohonan yang keluar dari hati yang dilanda keputusasaan dan kebingungan. Ayat pembuka ini langsung menggugah pendengar dengan pertanyaan retoris yang kuat, "Ya Allah, mengapa?" Pertanyaan ini bukan sekadar rasa ingin tahu, melainkan ungkapan kepedihan yang mendalam, sebuah jeritan dari orang-orang yang merasa ditinggalkan oleh Sang Pencipta di saat-saat paling genting dalam sejarah mereka. Penulis mazmur, yang kemungkinan besar adalah seorang Levita atau pendeta yang menyaksikan kehancuran Bait Suci, mengungkapkan rasa sakit yang luar biasa melihat umat pilihan Allah tercerai-berai dan ditindas.

Pertanyaan "Mengapa Engkau membuang kami untuk seterusnya?" menyiratkan rasa pengabaian yang total. Seolah-olah pertolongan Allah yang dulu begitu nyata kini telah lenyap tak berbekas. Periode "untuk seterusnya" menunjukkan kekhawatiran akan status permanen dari pembuangan ini, sebuah ketakutan bahwa jurang pemisah antara mereka dan Allah tidak akan pernah tertutup lagi. Ini adalah ketakutan yang paling menghancurkan bagi umat yang menganggap hubungan mereka dengan Allah sebagai inti dari identitas dan keberlangsungan mereka.

Lebih lanjut, mazmur ini menyoroti murka Allah yang digambarkan sebagai api yang membakar. Perumpamaan ini sangat kuat; murka Allah bukanlah sekadar ketidaksetujuan, melainkan kekuatan destruktif yang melalap segalanya. Namun, yang membuat situasi semakin menyakitkan adalah target dari murka tersebut: "domba gembalaan-Mu." Dalam konteks Alkitab, domba dan gembala adalah simbol intim hubungan antara Allah dan umat-Nya. Allah adalah gembala yang mengasihi dan melindungi, sementara umat-Nya adalah domba yang bergantung pada bimbingan-Nya. Melihat murka Allah menimpa domba-Nya sendiri menimbulkan pertanyaan yang lebih dalam lagi: mengapa kasih dan perlindungan digantikan oleh kehancuran?

Mazmur 74:1 tidak hanya merekam momen kehancuran fisik dan spiritual, tetapi juga sebuah titik kritis dalam iman. Ini adalah pengakuan bahwa kadang-kadang, bahkan orang yang beriman pun akan menghadapi situasi di mana kebaikan dan keadilan Allah tampak absen. Namun, di balik pertanyaan-pertanyaan yang penuh kepedihan ini, tersembunyi pula harapan yang tak terucapkan. Dengan bertanya "mengapa," penulis mazmur sebenarnya sedang berusaha memahami rencana Allah yang lebih besar, dan dengan meratap, ia membuka jalan bagi pertobatan dan permohonan agar Allah kembali bertindak. Ini adalah pengingat bahwa di tengah badai tergelap sekalipun, iman seringkali tidak berarti tanpa rasa sakit atau keraguan, tetapi justru dalam keberanian untuk bertanya dan memohon kepada Allah yang maha kuasa. Ayat ini mengajak kita untuk merenungkan bagaimana kita merespons kesulitan dan bagaimana kita terus mencari wajah Allah, bahkan ketika Dia tampaknya jauh.

?
Ilustrasi permohonan di tengah situasi yang membingungkan