Mazmur 88 adalah salah satu teks paling kelam dalam Kitab Suci. Penulisnya, yang dikenal sebagai Etan orang Ezrahi, menuangkan seluruh isi hatinya yang diliputi penderitaan, keputusasaan, dan rasa ditinggalkan. Dalam ayat 16, kita menemukan sebuah pernyataan yang begitu gamblang menggambarkan kedalaman dukanya: "Aku telah ditimpa murka-Mu, segala keganas-ganasan-Mu membinasa-kan aku." Ayat ini bukan sekadar ungkapan kesedihan biasa, melainkan sebuah jeritan jiwa yang merasakan beban dosa dan hukuman ilahi secara pribadi.
Konteks dari Mazmur 88 menunjukkan bahwa penulis sedang menghadapi cobaan yang sangat berat. Ia merasa terasing dari Tuhan, tidak memiliki siapa pun untuk menolong, dan seolah-olah terperangkap dalam kegelapan yang tak berujung. Ayat 16 secara khusus menyoroti persepsinya terhadap sumber penderitaannya: murka dan keganasan Tuhan. Bagi banyak orang, pemahaman tentang Tuhan yang murka bisa terasa menakutkan dan sulit untuk direkonsiliasi dengan kasih-Nya. Namun, dalam konteks pemazmur, murka ini tampaknya merupakan konsekuensi dari dosa atau kejatuhan yang ia rasakan begitu berat.
Memahami Murka dan Keganasan Tuhan
Penting untuk memahami bahwa "murka" Tuhan bukanlah seperti luapan emosi manusia yang tidak terkendali. Dalam teologi, murka Tuhan seringkali diartikan sebagai penolakan-Nya yang kudus terhadap dosa dan kejahatan. Keganasan yang disebutkannya bisa jadi merujuk pada berbagai bentuk penderitaan fisik, emosional, spiritual, bahkan mungkin bencana alam atau serangan musuh yang ia alami, yang semuanya ia lihat sebagai manifestasi dari ketidaksetujuan Tuhan atas dirinya.
Penderitaan pemazmur begitu mendalam sehingga ia merasa seolah-olah dirinya dihancurkan oleh kekuatan ilahi. "Membinasa-kan aku" menunjukkan perasaan kehancuran total, di mana tidak ada lagi harapan untuk pulih atau selamat. Perasaan ditinggalkan oleh Tuhan semakin memperparah kondisinya, membuatnya merasa seperti orang mati yang dilupakan, di mana Tuhan tidak lagi mengenalnya atau mendengarkan doanya.
Relevansi di Era Modern
Meskipun ditulis ribuan tahun lalu, ungkapan penderitaan dalam Mazmur 88:16 tetap relevan. Banyak orang di masa kini yang juga mengalami pergumulan berat, merasa tertekan oleh masalah hidup, sakit penyakit, kehilangan, atau bahkan rasa bersalah yang mendalam. Perasaan ditinggalkan oleh Tuhan, meskipun mungkin tidak diungkapkan secara gamblang seperti pemazmur, adalah pengalaman universal yang dapat melanda siapa saja.
Namun, di balik kegelapan Mazmur 88, ada juga pelajaran tentang ketekunan dalam iman. Pemazmur terus berdoa, meskipun ia tidak melihat jawaban segera. Ia terus berseru kepada Tuhan, meskipun ia merasa suara doanya tidak didengar. Ini mengajarkan kita bahwa dalam saat-saat tergelap sekalipun, menyerah pada keputusasaan bukanlah satu-satunya pilihan. Mencari Tuhan, bahkan ketika terasa sulit, adalah sebuah tindakan iman.
Mazmur 88:16, meskipun merupakan gambaran penderitaan yang intens, pada akhirnya dapat dilihat sebagai sebuah perhentian sebelum fajar. Di dalam Kitab Suci, kita juga menemukan janji pemulihan dan penebusan. Kisah seluruh umat manusia, yang berpusat pada Kristus, adalah kisah tentang bagaimana murka dan hukuman Tuhan atas dosa ditimpakan kepada Anak-Nya, sehingga kita yang percaya dapat dibebaskan dari keganasan-Nya. Ayat ini mengajak kita untuk merenungkan kedalaman penderitaan yang mungkin dialami, namun juga mengingatkan kita pada sumber pengharapan yang lebih besar yang tersedia bagi kita.