Ikon Kepedihan

Mazmur 88:5

"Aku telah terbaring di antara orang-orang mati, seperti orang yang terbunuh tergeletak di kuburan, yang tidak mendapat pertolongan lagi;"

Ayat Mazmur 88:5 melukiskan sebuah gambaran yang sangat puitis dan menyayat hati tentang kedalaman penderitaan. Daud, pemazmur yang menulis mazmur ini, berada dalam kondisi jiwa yang sangat tertekan, merasakan dirinya seolah-olah telah kehilangan segala harapan dan kehidupan. Perumpamaan yang digunakan sangat kuat: "Aku telah terbaring di antara orang-orang mati, seperti orang yang terbunuh tergeletak di kuburan". Ini bukan sekadar metafora biasa, melainkan pengekspresian rasa keputusasaan yang begitu mendalam seolah-olah keberadaannya sudah tidak berarti lagi di dunia yang hidup.

Kondisi "terbaring di antara orang-orang mati" menunjukkan rasa keterasingan dan isolasi yang ekstrem. Ia merasa tidak lagi terhubung dengan kehidupan, dikelilingi oleh kesunyian dan kehampaan yang identik dengan kematian. Lebih jauh lagi, perbandingan dengan "orang yang terbunuh tergeletak di kuburan" menyoroti rasa ketidakberdayaan total. Orang yang terbunuh tidak memiliki kekuatan untuk bangkit, membela diri, atau mencari pertolongan. Tubuhnya hanya tergeletak, tak berdaya, di tempat peristirahatan terakhirnya.

Frasa kunci "yang tidak mendapat pertolongan lagi" menggarisbawahi inti dari penderitaan yang dirasakan. Dalam situasi seperti ini, ketika seseorang merasa telah mencapai titik terendah, harapan akan bantuan dari pihak lain, bahkan dari Tuhan sekalipun, terasa sirna. Ini adalah kondisi di mana segala pintu seolah tertutup, dan diri sendiri tidak lagi mampu menemukan jalan keluar. Gambaran ini seringkali mewakili saat-saat dalam hidup ketika kita merasa benar-benar sendirian, dibebani oleh masalah yang terasa tak terpecahkan, dan seolah-olah bantuan dari mana pun tidak akan datang.

Namun, penting untuk diingat bahwa Mazmur ini, meskipun berisi ekspresi penderitaan yang luar biasa, tetap merupakan bagian dari Kitab Suci. Mazmur 88 secara keseluruhan adalah salah satu mazmur yang paling kelam, namun ia juga menjadi pengingat bahwa bahkan dalam kedalaman kegelapan dan keputusasaan, iman dapat tetap ada, meskipun terbungkus dalam ratapan. Ayat ini mengingatkan kita bahwa Tuhan mendengar bahkan tangisan dan keluhan hati yang paling dalam. Ia memahami rasa sakit, keterasingan, dan keputusasaan yang bisa melanda jiwa manusia.

Dalam konteks yang lebih luas, ayat ini mengajak kita untuk merenungkan tentang penderitaan manusia, tentang saat-saat di mana kita merasa seperti Daud—terasing, tak berdaya, dan seolah tanpa harapan. Di saat-saat seperti itu, mungkin kita juga akan menemukan diri kita meratap, mengungkapkan kepedihan kita kepada Tuhan. Mazmur 88:5, dengan segala kepahitannya, menjadi jembatan emosional yang kuat, mengakui realitas kesakitan tanpa menyangkal kemungkinan adanya kehadiran ilahi di tengah penderitaan itu sendiri.