"Siapakah manusia yang dapat hidup dan tidak akan melihat maut? Siapakah yang dapat menyelamatkan nyawanya dari genggaman dunia orang mati?"
Simbol kehidupan yang sementara dan harapan yang lebih besar.
Ayat Mazmur 89:48 membawa kita pada perenungan mendalam tentang hakikat eksistensi manusia. Pertanyaan retoris yang diajukan pemazmur mengingatkan kita akan kerapuhan dan keterbatasan hidup di dunia ini. "Siapakah manusia yang dapat hidup dan tidak akan melihat maut? Siapakah yang dapat menyelamatkan nyawanya dari genggaman dunia orang mati?" adalah pengingat yang kuat bahwa kematian adalah keniscayaan bagi setiap individu.
Dalam konteks Perjanjian Lama, Mazmur 89 sendiri mengisahkan tentang perjanjian Allah dengan Daud dan keturunannya, yang seringkali diuji oleh ketidaksetiaan manusia dan realitas penderitaan. Ayat ini muncul di tengah-tengah refleksi tentang kefanaan manusia, kontras dengan kekekalan dan kesetiaan Allah. Keterbatasan hidup manusia, dengan segala pencapaian dan perjuangannya, pada akhirnya akan berhadapan dengan akhir yang sama: kematian.
Pertanyaan kedua, "Siapakah yang dapat menyelamatkan nyawanya dari genggaman dunia orang mati?", menegaskan ketidakmampuan manusia untuk mengatasi batas kematian dengan kekuatannya sendiri. Konsep "dunia orang mati" (Sheol) dalam pemahaman kuno seringkali digambarkan sebagai tempat perhentian yang pasif, terlepas dari kehidupan atau kehadiran ilahi. Di hadapan takdir yang tak terhindarkan ini, manusia pada dasarnya tidak berdaya untuk membebaskan dirinya.
Namun, justru di tengah pengakuan akan keterbatasan ini, kita menemukan inti dari keindahan Mazmur 89. Meskipun manusia fana, Allah adalah kekal. Kesetiaan-Nya tidak pernah berakhir. Ayat ini tidak dimaksudkan untuk membawa keputusasaan, melainkan untuk mengarahkan pandangan kita pada sumber harapan yang sejati. Jika manusia tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri, maka penyelamatan harus datang dari luar dirinya, dari Sang Pencipta yang berkuasa atas kehidupan dan kematian.
Relevansi Mazmur 89:48 dalam kehidupan modern tetaplah relevan. Di era kemajuan teknologi dan pemahaman medis yang terus berkembang, manusia seringkali merasa mampu mengendalikan segala sesuatu, termasuk hidup itu sendiri. Namun, di balik ilusi kontrol tersebut, realitas kefanaan tetap membayangi. Ayat ini mengajak kita untuk membumi, mengakui keterbatasan kita, dan mencari makna hidup yang melampaui keberadaan fisik semata.
Pencarian akan keselamatan dari maut dan dunia orang mati adalah kerinduan universal yang paling mendalam. Mazmur ini, dalam keheningan dan keagungannya, mengarahkan kita pada kesadaran bahwa jawaban atas kerinduan tersebut tidak ditemukan dalam kekuatan manusia, melainkan dalam kasih setia dan kuasa Allah yang tak terbatas. Keterbatasan manusia justru menjadi panggung bagi kemuliaan dan penyelamatan ilahi yang ditawarkan.