"Kamu yang membenci yang baik dan mencintai yang jahat, kamu yang menguliti kulit dari atas mereka dan daging dari atas tulang mereka."
Sebuah representasi visual dari cahaya kebenaran yang menembus kegelapan.
Mikha 3:2 merupakan kutipan yang tajam dan menggugah dari Nabi Mikha yang berbicara tentang penyimpangan moral yang merajalela di kalangan para pemimpin pada masanya. Ayat ini dengan gamblang menggambarkan bagaimana para penguasa, yang seharusnya menjadi penjaga keadilan dan kebenaran, justru terjerumus dalam praktik-praktik yang kejam dan tidak bermoral. Mereka yang seharusnya melindungi rakyatnya, justru menikmati penderitaan dan kehancuran orang lain demi keuntungan pribadi.
Nabi Mikha menggunakan bahasa yang kuat untuk menyampaikan pesan ilahi. Frasa "membenci yang baik dan mencintai yang jahat" menyoroti pergeseran nilai-nilai yang fundamental. Dalam tatanan yang semestinya, kebaikan dihargai dan kejahatan dikutuk. Namun, di zaman Mikha, terjadi pembalikan nilai yang tragis. Kebaikan dianggap sebagai ancaman atau kelemahan, sementara kejahatan dilihat sebagai jalan pintas menuju kekuasaan dan kekayaan. Sikap ini menciptakan masyarakat yang korup dan penuh ketidakadilan, di mana hukum dan moralitas telah hilang arah.
Analogi "menguliti kulit dari atas mereka dan daging dari atas tulang mereka" sangat brutal dan menggambarkan tingkat eksploitasi yang mengerikan. Ini bukan hanya tentang mengambil harta benda, tetapi tentang menghancurkan esensi kehidupan seseorang. Para pemimpin yang digambarkan oleh Mikha bertindak seperti predator yang tidak mengenal belas kasihan, merampas segalanya hingga ke tulang belulang. Mereka tidak peduli dengan penderitaan yang mereka timbulkan, asalkan tujuan mereka tercapai. Kehidupan manusia direduksi menjadi komoditas yang bisa dieksploitasi sesuka hati.
Pesan Mikha 3:2 tidak hanya relevan untuk masa lalu, tetapi juga memiliki resonansi yang kuat di masa kini. Kita dapat melihat pola serupa dalam berbagai aspek kehidupan modern, mulai dari korupsi politik, keserakahan perusahaan, hingga ketidakadilan sosial yang masih sering terjadi. Ketika para pemegang kekuasaan kehilangan orientasi moral mereka, masyarakatlah yang menjadi korban. Prioritas bergeser dari kesejahteraan umum menjadi keuntungan individu atau kelompok semata, yang seringkali dibayar dengan harga yang sangat mahal oleh pihak yang lemah.
Ayat ini menjadi pengingat penting bagi setiap individu, terutama mereka yang memiliki pengaruh atau kekuasaan, untuk selalu menjaga integritas dan komitmen pada kebaikan. Keadilan sejati lahir dari hati yang mencintai yang baik dan menolak yang jahat. Tanpa landasan moral yang kuat, kekuasaan dapat dengan mudah berubah menjadi alat penindasan yang brutal. Mikha mengajak kita untuk merenungkan kembali nilai-nilai yang kita pegang, dan memastikan bahwa tindakan kita selalu selaras dengan prinsip kebenaran dan keadilan ilahi.