Ayat Pengkhotbah 10:3 menyajikan sebuah pengamatan tajam mengenai perilaku dan perkataan orang yang kurang bijaksana. Dalam konteks kehidupan sehari-hari, ayat ini menyoroti bagaimana cara seseorang bertindak dan berbicara dapat mengungkapkan kurangnya pemahaman atau hikmat yang dimilikinya. Seringkali, orang yang tidak memiliki pemikiran yang jernih atau penilaian yang baik cenderung melihat kesalahan atau kekurangan pada orang lain, bahkan ketika mereka sendiri yang sebenarnya tidak memiliki kemampuan untuk melihat gambaran yang lebih besar atau menilai situasi dengan adil.
Perjalanan yang dimaksud dalam ayat ini tidak hanya berarti perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan hidup, setiap langkah dan keputusan yang diambil. Ketika seseorang berjalan dengan "kurang akal," artinya mereka tidak memiliki tujuan yang jelas, tidak mempertimbangkan konsekuensi, atau tidak memiliki kearifan dalam mengambil tindakan. Dalam kondisi seperti ini, mudah bagi mereka untuk menyalahkan atau merendahkan orang lain. Alih-alih merefleksikan kekurangan diri sendiri, fokus mereka terarah pada apa yang mereka anggap sebagai kebodohan orang lain. Ini adalah sebuah mekanisme pertahanan diri yang umum terjadi pada individu yang merasa tidak aman atau kurang kompeten.
Pernyataan "ia berkata tentang setiap orang, bahwa ia bodoh" menunjukkan sebuah pola pikir yang destruktif. Orang yang kurang bijaksana seringkali terjebak dalam lingkaran penilaian negatif. Mereka tidak mampu menghargai perspektif atau kemampuan orang lain, dan pandangan mereka terhadap dunia sangat terbatas oleh pemahaman mereka sendiri yang dangkal. Ketidakmampuan untuk mengakui kebajikan atau kelebihan orang lain adalah tanda nyata dari kekosongan internal. Sebaliknya, orang yang bijaksana cenderung lebih rendah hati, mampu melihat nuansa, dan lebih terbuka untuk belajar dari orang lain, apapun latar belakang mereka.
Dalam kehidupan modern, ayat ini tetap relevan. Kita seringkali dihadapkan pada berbagai pandangan dan opini. Kemampuan untuk membedakan mana yang bijaksana dan mana yang kurang bijaksana adalah keterampilan krusial. Daripada cepat menghakimi orang lain, kita didorong untuk introspeksi diri dan berusaha memahami situasi dari berbagai sudut pandang. Kebijaksanaan tidak datang dari kemampuan untuk mengkritik, tetapi dari pemahaman, empati, dan kesabaran.
Memahami Pengkhotbah 10:3 mengajarkan kita pentingnya humility dan kerendahan hati. Orang yang bijak menyadari bahwa mereka tidak tahu segalanya dan selalu ada ruang untuk belajar. Mereka lebih cenderung membangun daripada meruntuhkan, lebih memilih untuk menginspirasi daripada menghakimi. Ketika kita mendapati diri kita seringkali mengeluh tentang ketidaksempurnaan orang lain, mungkin itu adalah tanda bahwa kita perlu melihat ke dalam diri kita sendiri dan mencari hikmat yang lebih dalam.
Jadi, bagaimana kita bisa mengaplikasikan pelajaran ini dalam kehidupan kita? Pertama, selalu berusahalah untuk berpikir sebelum berbicara. Pertimbangkan dampak kata-kata kita terhadap orang lain. Kedua, latihlah empati. Cobalah untuk memahami perspektif orang lain, bahkan ketika kita tidak setuju dengan mereka. Ketiga, jangan pernah berhenti belajar. Kebijaksanaan adalah sebuah perjalanan seumur hidup. Dengan terus belajar dan merefleksikan diri, kita dapat menghindari perangkap "kurang akal" dan menjadi individu yang lebih bijaksana dan memberikan dampak positif bagi dunia di sekitar kita.