Pengkhotbah 10 7: Mengerti Kedaulatan Ilahi

"Aku telah melihat hamba-hamba menunggang kuda, sedang raja-raja berjalan kaki seperti hamba-hamba di bumi." (Pengkhotbah 10:7)

Ilahi

Ayat Pengkhotbah 10:7 menyajikan sebuah gambaran yang kontras dan provokatif: "Aku telah melihat hamba-hamba menunggang kuda, sedang raja-raja berjalan kaki seperti hamba-hamba di bumi." Pernyataan ini bukan sekadar pengamatan acak mengenai tatanan sosial yang terbalik, melainkan sebuah refleksi mendalam mengenai sifat duniawi dan peran kedaulatan Ilahi di dalamnya.

Dalam konteks zaman dahulu, menunggang kuda merupakan simbol kekuasaan, kemuliaan, dan otoritas. Raja dan orang-orang terhormatlah yang biasa menunggang kuda. Sebaliknya, berjalan kaki, terlebih lagi berjalan kaki seperti seorang hamba, menyiratkan status yang lebih rendah, ketergantungan, dan ketiadaan kekuasaan. Pengkhotbah, melalui pengamatannya, menyoroti situasi yang tidak lazim ini, di mana para hamba justru menikmati posisi yang seharusnya dipegang oleh para penguasa.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Pengkhotbah, yang terkenal dengan pesimismenya yang bijak, seringkali merenungkan kefanaan segala sesuatu di bawah matahari. Dalam perenungannya, seringkali ia mendapati bahwa tatanan yang tampak wajar dan adil di dunia ini bisa saja tidak selalu demikian. Faktor keberuntungan, kebetulan, atau bahkan kesia-siaan bisa memainkan peran yang signifikan dalam menentukan nasib seseorang.

Ayat ini dapat diinterpretasikan dalam beberapa cara. Pertama, ini adalah pengingat akan sifat yang tidak pasti dan seringkali tidak adil dari pengaturan duniawi. Kedudukan dan status yang dimiliki manusia seringkali tidak sepenuhnya mencerminkan kebijaksanaan, kebajikan, atau kerja keras mereka. Kadang kala, mereka yang tidak pantas justru berada di puncak, sementara mereka yang layak mendapati diri mereka di posisi bawahan.

Kedua, ayat ini mendorong kita untuk melihat melampaui kemapanan sosial yang terlihat. Apakah seorang raja berjalan kaki atau seorang hamba menunggang kuda, pada akhirnya, semua manusia adalah ciptaan yang sama di hadapan Yang Maha Kuasa. Kedaulatan Ilahi melampaui segala stratifikasi sosial manusia. Dalam pandangan Tuhan, perbedaan-perbedaan duniawi ini mungkin tidak memiliki bobot yang sama seperti yang kita berikan.

Selanjutnya, pengkhotbah 10:7 juga dapat menjadi panggilan untuk kerendahan hati, baik bagi yang berkuasa maupun yang diperintah. Bagi mereka yang berada di posisi kekuasaan, pengamatan ini bisa menjadi peringatan untuk tidak terlena oleh status mereka, karena status itu bisa saja berubah, dan kehormatan sejati datang dari sumber yang lebih tinggi. Bagi mereka yang merasa berada di posisi yang lebih rendah, ayat ini mungkin menawarkan sedikit penghiburan bahwa keadilan sejati dan pengakuan yang layak dapat datang dari Tuhan, terlepas dari keadaan duniawi.

Dalam konteks yang lebih luas dari Kitab Pengkhotbah, ayat ini memperkuat tema bahwa banyak hal di dunia ini adalah "kesia-siaan". Namun, kesia-siaan ini tidak berarti nihilisme. Justru, dengan mengakui sifat kefanaan dan ketidakpastian dunia, kita diajak untuk mencari makna dan kepuasan yang lebih kekal, yaitu dalam takut akan Tuhan dan berpegang pada perintah-perintah-Nya, seperti yang ditekankan di bagian akhir kitab tersebut.

Oleh karena itu, Pengkhotbah 10:7 bukan hanya sekadar cerita tentang tatanan sosial yang terbalik, tetapi sebuah pelajaran berharga tentang memahami kedaulatan Ilahi, mengakui ketidakpastian dunia, dan mencari nilai-nilai yang lebih abadi dalam hidup kita. Ini adalah undangan untuk melihat realitas dengan mata yang lebih bijak, menyadari bahwa kekuatan, kekuasaan, dan status duniawi bukanlah ukuran akhir dari nilai seseorang.