Pengkhotbah 6:7

"Setiap orang yang bekerja, bekerja untuk mengisi mulutnya, tetapi nafsu makan tidak pernah terpuaskan."

Ayat Pengkhotbah 6:7 ini menyentuh inti dari perjuangan manusia dalam mencari kepuasan. Pengkhotbah, seorang bijak yang merenungkan kedalaman kehidupan, menyajikan sebuah gambaran yang begitu realistis tentang sifat lapar dan keinginan manusia. Ia menyatakan bahwa manusia bekerja keras, mengabdikan seluruh hidupnya untuk menafkahi diri sendiri, untuk memenuhi kebutuhan fisiknya. Namun, meskipun telah bekerja keras dan mendapatkan hasilnya, "nafsu makan tidak pernah terpuaskan." Ini bukan hanya berbicara tentang kebutuhan fisik semata, tetapi juga tentang keinginan yang tak terbatas untuk lebih banyak lagi—lebih banyak harta, lebih banyak kesenangan, lebih banyak pencapaian.

Dalam konteks modern, ayat ini mengingatkan kita pada budaya konsumerisme yang terus-menerus mendorong kita untuk membeli lebih banyak, menginginkan lebih banyak, dan merasa tidak pernah cukup. Kita bekerja berjam-jam, mengejar kenaikan gaji, membeli barang-barang terbaru, dan berpindah dari satu pencapaian ke pencapaian lain, dengan harapan bahwa inilah yang akan membawa kebahagiaan dan kepuasan abadi. Namun, Pengkhotbah melihat pola ini sebagai lingkaran setan yang berulang. Begitu satu keinginan terpenuhi, keinginan lain muncul, menciptakan siklus yang melelahkan dan seringkali hampa.

Renungan ini mengajak kita untuk bertanya, apakah definisi kebahagiaan dan kepuasan yang kita anut sudah benar? Apakah kita telah salah mengarahkan energi dan usaha kita untuk mengejar sesuatu yang pada dasarnya tidak akan pernah memberikan kepuasan sejati? Kelelahan, kecemasan, dan perasaan kosong seringkali menjadi akibat dari pengejaran yang sia-sia ini. Manusia dibentuk bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan fisik, tetapi juga kebutuhan spiritual dan emosional yang lebih dalam. Jika kita hanya fokus pada "mengisi mulut," kita akan selalu merasa lapar di dalam.

Pengkhotbah tidak menyarankan untuk tidak bekerja atau tidak berusaha. Sebaliknya, ia mengajak kita untuk merefleksikan motivasi di balik pekerjaan kita dan sumber kepuasan yang kita cari. Mungkin kebahagiaan sejati tidak terletak pada akumulasi materi atau pencapaian duniawi semata, melainkan pada hubungan yang bermakna, kontribusi yang berarti bagi orang lain, kedamaian batin, dan hubungan yang mendalam dengan Sang Pencipta. Menyadari bahwa keinginan duniawi itu tak terbatas adalah langkah pertama untuk mencari sumber kepuasan yang lebih kekal dan substansial. Ayat ini adalah pengingat abadi bahwa kepuasan sejati adalah anugerah yang melampaui usaha fisik semata.

Carilah kepuasan yang tidak pernah habis.