Pengkhotbah 9:17

"Perkataan orang berakal yang didengar dengan tenang lebih baik dari pada teriakan pemimpin orang bodoh."

Suara

Ayat Pengkhotbah 9:17 membawa sebuah kebenaran yang sederhana namun mendalam tentang kekuatan komunikasi dan kebijaksanaan. Dalam keramaian dunia, terutama di tengah kebisingan dan kekacauan yang sering diasosiasikan dengan kepemimpinan yang tidak bijaksana, perkataan yang tenang dari akal sehat justru memiliki bobot yang jauh lebih besar. Ayat ini menyoroti kontras antara efektivitas kebijaksanaan dan kehampaan kekuatan tanpa arah.

Mari kita bedah makna di balik perbandingan ini. Di satu sisi, kita memiliki "perkataan orang berakal". Ini merujuk pada individu yang memiliki pemahaman yang mendalam, pengalaman yang matang, dan kemampuan untuk berpikir jernih serta berbicara dengan penuh pertimbangan. Kata-kata mereka tidak diucapkan dengan gegabah, melainkan lahir dari proses refleksi dan pengetahuan yang valid. Ketika perkataan ini "didengar dengan tenang", itu menunjukkan sebuah lingkungan yang kondusif, di mana orang-orang bersedia untuk mendengarkan, merenungkan, dan mengevaluasi apa yang disampaikan. Ketenangan dalam mendengarkan bukan berarti pasif, melainkan aktif mendengarkan dengan pikiran terbuka, siap menerima kebenaran, bahkan jika itu berbeda dari pandangan pribadi.

Di sisi lain, kita melihat "teriakan pemimpin orang bodoh". Teriakan di sini sering kali melambangkan ketidakmampuan untuk berkomunikasi secara efektif. Mungkin teriakan itu berasal dari kepanikan, ketidakpastian, atau bahkan sebuah upaya untuk menutupi kurangnya pemahaman dengan volume suara yang keras. Pemimpin yang bodoh mungkin mengandalkan otoritas semata, paksaan, atau intimidasi untuk mendapatkan kepatuhan, alih-alih persuasi yang lahir dari hikmat. Teriakan semacam ini cenderung menciptakan ketakutan, kebingungan, dan ketidaknyamanan, tetapi jarang sekali menghasilkan pemahaman yang mendalam atau kepatuhan yang tulus.

Perbandingan "lebih baik dari pada" menunjukkan sebuah nilai yang lebih tinggi. Kebijaksanaan, yang diungkapkan melalui perkataan yang tenang dan didengarkan dengan saksama, memiliki nilai intrinsik yang jauh melampaui suara keras dari kebodohan. Ini bukan sekadar masalah volume, tetapi masalah substansi dan dampak. Kebijaksanaan dapat memimpin pada solusi yang berkelanjutan, membangun kepercayaan, dan menciptakan harmoni. Sebaliknya, teriakan kebodohan mungkin mendapatkan perhatian sesaat, tetapi sering kali berujung pada kesalahan, penyesalan, dan disintegrasi.

Dalam konteks kepemimpinan, ayat ini memberikan pelajaran berharga. Para pemimpin seharusnya mengutamakan kebijaksanaan, mendengarkan dengan saksama sebelum berbicara, dan menyampaikan gagasan mereka dengan cara yang membangun. Mereka harus belajar dari orang-orang berakal, bukan hanya meniru kekuasaan yang ada. Di dunia yang serba cepat dan penuh dengan informasi yang sering kali saling bertentangan, kemampuan untuk memilah mana yang merupakan perkataan berakal dan mana yang hanya teriakan kosong menjadi sangat krusial. Kemampuan untuk menciptakan suasana di mana perkataan berakal dapat didengar dengan tenang adalah tanda kepemimpinan yang efektif dan berkontribusi pada kemajuan yang positif.

Pengkhotbah 9:17 mengingatkan kita bahwa suara yang paling efektif bukanlah suara yang paling keras, melainkan suara yang paling benar dan paling bijaksana. Memupuk kebijaksanaan dalam diri dan menciptakan lingkungan yang menghargai pemikiran jernih adalah kunci untuk mencapai hasil yang lebih baik dalam segala aspek kehidupan.