Ayat Roma 4:22 mengingatkan kita pada sebuah prinsip fundamental dalam kekristenan: pembenaran oleh iman. Ayat ini merujuk pada Abraham, nenek moyang bangsa Israel, yang dikatakan oleh Kitab Suci sebagai teladan iman yang luar biasa. Perikop ini mengeksplorasi bagaimana Abraham tidak dibenarkan karena perbuatan atau ketaatannya yang sempurna, melainkan karena imannya yang tulus kepada janji Allah. Allah telah berjanji kepada Abraham bahwa ia akan menjadi bapa banyak bangsa, meskipun pada saat itu ia dan istrinya, Sara, sudah lanjut usia dan tidak memiliki anak. Dalam kondisi yang tampaknya mustahil ini, Abraham memilih untuk percaya.
Kata kunci dalam Roma 4:22 adalah "diperhitungkan" atau "dihitung" (bahasa Yunani: elogisthē). Ini menunjukkan bahwa kebenaran yang diterima Abraham bukanlah sesuatu yang ia capai sendiri, melainkan sesuatu yang diberikan Allah kepadanya sebagai respons atas imannya. Iman Abraham bukan sekadar keyakinan intelektual, melainkan kepercayaan yang mendalam dan aktif yang mendorongnya untuk berserah pada kehendak Allah, bahkan ketika akal sehatnya mengatakan sebaliknya. Inilah yang membuat Allah memandangnya sebagai orang yang benar.
Implikasi dari Roma 4:22 sangat luas bagi setiap orang yang beriman. Rasul Paulus menggunakan kisah Abraham sebagai ilustrasi utama untuk mengajarkan bahwa pembenaran di hadapan Allah tidak didasarkan pada ketaatan terhadap hukum Taurat, melainkan melalui kasih karunia Allah yang diterima melalui iman kepada Yesus Kristus. Seperti Abraham yang percaya pada janji Allah sebelum sunat dan hukum Taurat ada, demikian pula kita dibenarkan ketika kita percaya pada pengorbanan Kristus yang menebus dosa-dosa kita. Keimanan kitalah yang "diperhitungkan" sebagai kebenaran.
Penting untuk dipahami bahwa iman yang diperhitungkan bukanlah iman yang pasif. Iman yang hidup selalu menghasilkan tindakan yang sesuai. Kisah Abraham sendiri penuh dengan tindakan-tindakan iman: ia meninggalkan negerinya tanpa tahu ke mana ia akan pergi, ia mengkhitan seluruh kaum keluarganya, dan bahkan ia bersedia mempersembahkan Ishak, putranya yang dijanjikan, sebagai kurban. Namun, sumber dari semua tindakan ini adalah imannya yang teguh. Roma 4:22 menegaskan bahwa dasar pembenaran bukanlah buah dari perbuatan tersebut, melainkan akar imannya yang diperhitungkan Allah sebagai kebenaran.
Dalam konteks kekinian, Roma 4:22 terus menjadi pengingat yang menyegarkan. Di dunia yang sering kali mengukur nilai seseorang dari pencapaian atau statusnya, kebenaran ini membebaskan kita. Kita tidak perlu berusaha keras mengumpulkan "amal kebaikan" untuk mendapatkan persetujuan Allah. Sebaliknya, melalui iman yang sederhana namun mendalam kepada Yesus Kristus, kita menerima kebenaran-Nya. Allah melihat iman kita, dan karena iman itu, Ia menyatakan kita benar. Inilah anugerah yang luar biasa, sebuah fondasi kokoh bagi hubungan kita dengan Sang Pencipta, yang berasal dari iman Abraham yang diperhitungkan sebagai kebenaran oleh Allah.