Ayat Roma 9:19, yang diambil dari Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Roma, merupakan sebuah pertanyaan retoris yang menggugah pemikiran. Ayat ini muncul dalam konteks diskusi mendalam Rasul Paulus mengenai kedaulatan Allah, pemilihan Israel, dan bagaimana kehendak Allah berinteraksi dengan tanggung jawab manusia. Pertanyaan ini seringkali diajukan sebagai respons terhadap argumen sebelumnya dalam pasal tersebut, di mana Paulus menekankan bahwa Allah memiliki kuasa dan hak mutlak atas ciptaan-Nya.
Dalam pasal 9, Paulus membahas tentang bangsa Israel dan ketidakpercayaan sebagian dari mereka kepada Yesus Kristus. Ia menggunakan analogi tentang tukang periuk yang memiliki hak untuk membuat bejana dari segumpal tanah yang sama, ada yang untuk tujuan mulia dan ada yang untuk tujuan biasa. Melalui analogi ini, Paulus menegaskan bahwa Allah berdaulat dalam memilih siapa yang akan diselamatkan dan bagaimana rencana-Nya akan digenapi. Pernyataan ini dapat menimbulkan pertanyaan sulit mengenai keadilan dan tanggung jawab manusia. Jika Allah berdaulat penuh dan kehendak-Nya tak tertolak, mengapa Ia masih bisa menyalahkan manusia atas dosa-dosa mereka?
Pertanyaan "Adakah barang kali orang akan berkata kepada kita: Kalau begitu, mengapa Allah masih menyalahkan mereka? Bukankah kehendak-Nya tak tertolak?" mencerminkan kebingungan yang mungkin timbul ketika mencoba memahami kemahakuasaan Allah dengan keadilan-Nya. Jika Allah telah menentukan segala sesuatu, termasuk keselamatan seseorang, bagaimana mungkin Ia dapat meminta pertanggungjawaban kepada individu atas pilihan dan tindakan mereka? Apakah kehendak bebas manusia hanya ilusi belaka jika pada akhirnya segala sesuatu telah ditetapkan oleh kehendak ilahi yang tak dapat ditolak?
Paulus tidak hanya berhenti pada pertanyaan ini, tetapi ia terus melanjutkan argumennya untuk menjelaskan perspektif ilahi. Jawaban atas pertanyaan ini tidak terletak pada penyederhanaan doktrin kedaulatan Allah atau tanggung jawab manusia, melainkan pada pemahaman bahwa kedua kebenaran ini dapat hidup berdampingan dalam misteri ilahi. Allah adalah Pencipta yang sempurna, dan kita, sebagai ciptaan-Nya, harus mengakui hikmat-Nya yang melampaui pemahaman kita. Kehendak Allah tidak pernah bertentangan dengan keadilan-Nya.
Penting untuk diingat bahwa pemahaman manusia terhadap kehendak Allah seringkali terbatas. Alkitab mengajarkan bahwa Allah memiliki rencana kekal dan berdaulat atas sejarah, namun pada saat yang sama, manusia juga dipanggil untuk merespons kasih karunia Allah dengan iman dan ketaatan. Pertanyaan dalam Roma 9:19 mengingatkan kita untuk tidak membatasi pemahaman kita tentang Allah hanya pada logika manusiawi. Sebaliknya, kita diajak untuk berserah pada hikmat-Nya dan mempercayai kebaikan-Nya, bahkan ketika aspek-aspek tertentu dari rencana-Nya tampak sulit dipahami. Allah tidak menyalahkan manusia secara tidak adil; penyalahan-Nya didasarkan pada kesempurnaan-Nya sebagai Hakim yang adil dan kehendak-Nya yang selalu benar.
Simbol visual kehendak ilahi yang tak tergoyahkan.