"Di sana kamu akan beribadah kepada ilah-ilah hasil karya tangan manusia, dari kayu dan batu, yang tidak dapat melihat, tidak dapat mendengar, tidak dapat makan, tidak dapat mencium."
Ayat yang kita renungkan hari ini, Ulangan 4 ayat 28, memberikan gambaran yang cukup tajam tentang kesia-siaan menyembah berhala. Dilarang keras bagi umat pilihan Tuhan untuk berpaling kepada ilah-ilah buatan manusia. Ilah-ilah ini digambarkan dengan sangat gamblang: terbuat dari kayu dan batu, tidak memiliki indra penglihatan, pendengaran, penciuman, apalagi kemampuan untuk makan atau merasakan. Ini adalah gambaran kontras yang mencolok dengan Tuhan yang Maha Kuasa, yang adalah Sumber segala kehidupan dan hikmat.
Pesan dalam Ulangan 4 28 bukan sekadar larangan historis terhadap penyembahan berhala. Lebih dari itu, ayat ini mengajarkan kita tentang esensi dari apa yang layak untuk kita puja dan percayai. Dalam kehidupan modern, kita mungkin tidak lagi menyembah patung kayu atau batu secara harfiah. Namun, godaan untuk "menyembah" hal-hal yang pada dasarnya kosong dan tidak dapat memberikan kehidupan sejati tetap ada. Kita bisa saja terlalu mengagungkan kekayaan materi, kekuasaan, popularitas, atau bahkan pencapaian akademis semata. Semua ini, jika dijadikan pusat hidup kita dan lebih diutamakan daripada Sumber segala hikmat, dapat menjadi "berhala" modern yang mengalihkan perhatian kita dari hal-hal yang kekal dan bermakna.
Tuhan, dalam kasih-Nya, tidak hanya memberikan larangan, tetapi juga menawarkan alternatif yang luar biasa: hikmat-Nya. Ulangan 4 sendiri, di ayat-ayat sebelumnya, berbicara tentang perintah-perintah Tuhan yang harus ditaati dan diajarkan kepada generasi mendatang. Ketaatan kepada Tuhan dan firman-Nya adalah jalan menuju hikmat yang sesungguhnya.
Hikmat yang berasal dari Tuhan berbeda secara fundamental dengan ilah-ilah buatan manusia. Hikmat Tuhan memberikan penglihatan sejati, kemampuan untuk mendengar kebenaran, dan pemahaman yang mendalam tentang kehidupan. Ia bukan sesuatu yang statis dan mati, melainkan hidup dan terus menerus menuntun. Ketika kita mencari hikmat Tuhan, kita tidak sedang mengkultuskan benda mati, melainkan mendekatkan diri kepada Pencipta segala sesuatu. Ia memberikan perspektif yang benar, membantu kita membedakan mana yang berharga dan mana yang hanya fatamorgana.
Dalam konteks ulangan 4 28, bagaimana kita menerapkan prinsip ini dalam kehidupan kita? Pertama, kita perlu secara sadar mengidentifikasi "berhala-berhala" modern yang mungkin telah menyelinap ke dalam hati kita. Apakah ada sesuatu yang begitu kita kejar hingga mengabaikan hubungan kita dengan Tuhan atau nilai-nilai spiritual yang lebih tinggi?
Kedua, kita harus secara aktif mencari hikmat Tuhan. Ini berarti meluangkan waktu untuk berdoa, membaca firman-Nya, merenungkan ajaran-Nya, dan mendengarkan suara-Nya melalui komunitas rohani atau nasihat yang bijak dari orang lain yang hidup dalam hikmat.
Ketiga, kita perlu bertekad untuk hidup sesuai dengan hikmat yang telah kita terima. Ini bukan hanya tentang pengetahuan, tetapi tentang penerapan dalam setiap keputusan, setiap perkataan, dan setiap tindakan kita. Dengan demikian, kita tidak akan tersesat menyembah hal-hal yang tidak berdaya dan tidak berarti, melainkan hidup dalam terang dan kebenaran yang sejati, yang hanya dapat ditemukan dalam hubungan yang erat dengan Tuhan.
Marilah kita memohon hikmat Tuhan agar kita senantiasa dapat membedakan mana yang layak disembah, mana yang patut menjadi pegangan hidup, dan mana yang hanya kesia-siaan belaka. Hikmat sejati berasal dari Tuhan, dan hanya dalam Dia kita menemukan kepenuhan dan makna yang abadi.