"Dan kesepuluh tanduk yang telah engkau lihat, dan binatang itu, akan membenci pelacur itu, dan akan membuat dia sunyi dan telanjang, dan akan memakan dagingnya dan akan membakarnya dengan api."
Kitab Wahyu, khususnya pasal 17 dan ayat ke-16, menyajikan gambaran dramatis tentang kejatuhan kekuatan-kekuatan yang berlawanan dengan kehendak ilahi. Ayat ini menggambarkan sebuah transformasi yang mengejutkan: dari aliansi menjadi permusuhan, dari kerjasama menjadi kehancuran. Pemahaman mendalam terhadap konteks historis dan simbolisme dalam Kitab Wahyu sangat penting untuk menafsirkan pesan yang terkandung di dalamnya.
Dalam konteks visi Yohanes, "binatang" yang disebutkan sering kali melambangkan kerajaan-kerajaan atau kekuatan politik duniawi yang menentang kekuasaan Tuhan. "Pelacur" (dalam beberapa terjemahan disebut "wanita sundal" atau "babilon besar") umumnya diartikan sebagai sistem keagamaan atau politik yang sesat, yang memanipulasi kekuatan duniawi untuk mencapai tujuan jahatnya. Keduanya digambarkan dalam aliansi yang kuat, di mana "pelacur" menikmati kemewahan dan kekuasaan yang diberikan oleh "binatang" tersebut.
Namun, Wahyu 17:16 menyatakan sebuah perubahan radikal. Hubungan yang tampaknya kokoh ini akan hancur berkeping-keping. Sepuluh tanduk, yang sering dikaitkan dengan komponen dari kekuatan binatang atau kerajaan-kerajaan yang tunduk padanya, akan berbalik melawan "pelacur" itu. Ini bukan sekadar perselisihan kecil, melainkan sebuah kehancuran total. Mereka akan "membuat dia sunyi dan telanjang," menandakan penghilangan segala kemegahan, pengaruh, dan perlindungan yang pernah dinikmatinya. Tindakan ini mencapai puncaknya dengan "memakan dagingnya dan akan membakarnya dengan api," sebuah gambaran yang sangat brutal yang menekankan kehancuran total dan hukuman yang mengerikan.
Makna di balik peristiwa ini sangatlah signifikan. Ini menunjukkan bahwa kekuatan duniawi, betapapun kuatnya, tidak akan bertahan selamanya dan pada akhirnya akan saling menghancurkan ketika waktu Tuhan telah tiba. Ketergantungan pada sistem yang korup atau kekuatan yang menentang prinsip-prinsip ilahi pada akhirnya akan membawa kehancuran bagi para penggunanya. Ayat ini berfungsi sebagai peringatan keras tentang kesia-siaan dalam memberontak terhadap otoritas ilahi dan tentang konsekuensi yang akan dihadapi oleh segala sesuatu yang menganut jalan kejahatan dan penipuan.
Dalam arti yang lebih luas, Wahyu 17:16 dapat dipahami sebagai pengingat akan akhir dari segala bentuk penindasan dan ketidakadilan. Ketika kekuatan yang berlawanan dengan keadilan ilahi mencapai puncaknya, kehancurannya juga akan datang dengan cara yang dahsyat. Hal ini memberikan harapan bagi mereka yang tertindas bahwa pada akhirnya, keadilan akan ditegakkan dan kejahatan akan dihukum. Penekanan pada "membakar dengan api" menggambarkan penghakiman yang tak terhindarkan dan total atas segala sesuatu yang telah memberontak terhadap Tuhan.
Memahami pesan ini bukanlah sekadar latihan akademis atau teologis, melainkan sebuah seruan untuk refleksi pribadi. Apakah kita, dalam hidup kita, cenderung bergantung pada kekuatan-kekuatan yang sementara dan akhirnya rapuh, ataukah kita mengarahkan hidup kita pada fondasi yang abadi dan benar? Wahyu 17:16 menggarisbawahi betapa pentingnya memilih jalan yang benar di hadapan Tuhan, karena pada akhirnya, segala sesuatu yang dibangun di atas dasar yang salah akan runtuh.
Kisah kehancuran "pelacur" oleh "binatang" adalah sebuah narasi tentang keadilan ilahi yang akan segera terlaksana. Ini adalah janji bahwa segala upaya untuk mendirikan kekuasaan di atas penindasan dan kebohongan pada akhirnya akan berujung pada kehancuran diri sendiri. Di tengah kekacauan dunia, ayat ini memberikan kepastian bahwa Tuhan memiliki kendali penuh dan bahwa keadilan-Nya pasti akan datang.