"Apakah akan diambil dari padanya sepotong kayu untuk dijadikan pekerjaan? Akan diambilkah dari padanya pasak untuk digantungkan benda apa pun?"
Ayat Yehezkiel 15:3 mengutip sebuah pertanyaan retoris yang sangat menggugah. Nabi Yehezkiel, melalui gambaran yang kuat, mempertanyakan kegunaan pokok kayu dari pohon anggur yang telah diabaikan. Ia bertanya, "Apakah akan diambil dari padanya sepotong kayu untuk dijadikan pekerjaan? Akan diambilkah dari padanya pasak untuk digantungkan benda apa pun?" Pertanyaan ini bukanlah sekadar pengamatan botani, melainkan sebuah alegori mendalam mengenai kondisi umat Allah pada masa itu.
Pohon anggur dalam tradisi Alkitab sering kali melambangkan umat Israel. Yesus sendiri menyebut diri-Nya sebagai pokok anggur yang benar, dan para pengikut-Nya sebagai ranting-rantingnya (Yohanes 15:1-5). Namun, dalam konteks Yehezkiel, kita melihat gambaran pohon anggur yang kering dan tidak produktif. Kayu dari pohon anggur yang tidak berbuah atau yang telah mati tidak lagi memiliki nilai guna yang tinggi. Ia tidak dapat dijadikan perabot rumah tangga yang kokoh, tidak dapat dijadikan pasak penyangga yang kuat, apalagi untuk menggantungkan sesuatu yang berharga. Nilainya telah hilang, kegunaannya telah pupus.
Analogi ini secara gamblang menggambarkan keadaan Israel yang telah terpecah belah dan meninggalkan perjanjian dengan Tuhan. Mereka telah menjadi seperti kayu yang merana, tidak lagi mampu memberikan buah-buah kebaikan atau menjadi pilar penyokong bagi umat lainnya. Keadaan ini adalah cerminan dari keterpisahan mereka dari sumber kehidupan sejati, yaitu Tuhan. Tanpa hubungan yang benar dengan Sang Pemberi Kehidupan, segala sesuatu menjadi sia-sia, tidak berarti, dan tidak memiliki nilai yang bertahan lama.
Pertanyaan Yehezkiel menekankan pada ketidakbergunaan dan kehancuran yang dihadapi oleh mereka yang tercerabut dari akar ilahi. Kayu yang dulunya mungkin pernah kuat dan berguna, kini hanya menjadi sisa-sisa yang tidak memiliki fungsi berarti. Gambaran ini adalah peringatan keras bahwa tanpa pemeliharaan rohani dan ketaatan pada kehendak Tuhan, seseorang atau bahkan sebuah bangsa, dapat kehilangan nilai dan tujuan keberadaannya. Ini bukan sekadar tentang penilaian fisik, tetapi lebih dalam lagi tentang kondisi spiritual dan moral yang membuat seseorang tidak dapat lagi berkontribusi pada rencana ilahi atau bahkan sekadar menjadi penopang bagi hal-hal baik.
Kekuatan dari perumpamaan ini terletak pada kesederhanaannya. Siapa pun dapat memahami bahwa sepotong kayu mati dari pohon anggur yang tidak berguna tidak memiliki nilai praktis. Yehezkiel menggunakan pemahaman universal ini untuk menyoroti kejatuhan Israel, yang telah menjadi seperti kayu yang tak bernilai di mata Tuhan karena ketidaksetiaan mereka. Ini adalah panggilan untuk introspeksi mendalam mengenai nilai dan kegunaan kita di hadapan Tuhan, serta pentingnya tetap terhubung dengan "pokok anggur yang benar" agar hidup kita senantiasa berbuah dan bermakna.