Yehezkiel 18:1

"Datanglah lagi firman TUHAN kepadaku: "Mengapakah kamu memakai perumpamaan yang begitu di tanah Israel, mengatakan: Bapa-bapaku makan buah asam, dan gigi anak-anaknya menjadi ngilu?""
Firman TUHAN

Ayat Yehezkiel 18:1 mengawali sebuah perikop penting dalam kitab Yehezkiel yang secara gamblang menolak konsep tanggung jawab kolektif atas dosa leluhur. Pertanyaan retoris yang diajukan oleh TUHAN, "Mengapakah kamu memakai perumpamaan yang begitu di tanah Israel, mengatakan: Bapa-bapaku makan buah asam, dan gigi anak-anaknya menjadi ngilu?", menjadi dasar penolakan terhadap pemahaman bahwa generasi penerus otomatis menanggung konsekuensi dari kesalahan generasi sebelumnya. Pemahaman ini, yang diyakini beredar di kalangan bangsa Israel pada masa pembuangan di Babel, menciptakan keputusasaan dan perasaan ketidakadilan. Mereka merasa hukuman yang mereka terima di pembuangan adalah akibat dosa nenek moyang mereka, bukan karena kesalahan mereka sendiri.

Perumpamaan "buah asam" menyimbolkan dosa atau kesalahan, sementara "gigi anak-anaknya menjadi ngilu" melambangkan penderitaan atau hukuman yang ditanggung oleh anak-anak mereka. Ungkapan ini mencerminkan sebuah keyakinan yang sudah mengakar di masyarakat, bahwa kesalahan orang tua secara otomatis membebani keturunan mereka. Namun, melalui Nabi Yehezkiel, TUHAN mengklarifikasi bahwa keadilan ilahi tidak bekerja seperti itu. Setiap individu akan dimintai pertanggungjawaban atas tindakan mereka sendiri. Konsep ini merupakan revolusi teologis pada masanya, yang menekankan pada akuntabilitas pribadi dan keadilan Tuhan yang universal.

Dalam konteks sejarah, bangsa Israel tengah menghadapi masa-masa sulit akibat dosa-dosa mereka dan dosa para pendahulu. Pembuangan ke Babel adalah pukulan telak yang memicu pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang keadilan Tuhan. Apakah Tuhan tidak adil karena menghukum mereka atas dosa yang tidak mereka lakukan? Yehezkiel 18:1 menjadi pembuka diskusi yang tegas dari Tuhan sendiri, bahwa perumpamaan tersebut tidak lagi berlaku dan tidak sesuai dengan kehendak-Nya. Tuhan menegaskan bahwa Dia adalah Tuhan yang adil, dan setiap orang akan menghadapi konsekuensi dari pilihan moral mereka.

Penolakan terhadap konsep dosa warisan yang pasif ini sangat krusial. TUHAN ingin umat-Nya bangkit dari keputusasaan dan menyadari bahwa mereka memiliki kebebasan untuk memilih jalan kebenaran. Jika mereka taat kepada Tuhan, maka mereka akan diberkati. Sebaliknya, jika mereka memilih jalan dosa, maka mereka akan menghadapi konsekuensi atas dosa mereka sendiri. Ini adalah panggilan untuk pertobatan yang aktif dan tanggung jawab moral yang sadar. Dengan demikian, ayat ini bukan hanya sebuah pernyataan teologis, tetapi juga dorongan kuat bagi individu untuk mengambil kendali atas kehidupan rohani mereka dan memahami bahwa hubungan mereka dengan Tuhan bersifat personal. Setiap orang memiliki kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan meraih keselamatan melalui ketaatan dan pertobatan. Konsep ini memberikan harapan dan memberdayakan individu untuk tidak terbebani oleh masa lalu leluhur mereka, melainkan fokus pada perjalanan iman mereka sendiri.